Sabtu, 12 Desember 2009

Investasi Weda Bay Nikel


Sebuah perusahaan asal Perancis menanamkan investasi sekitar 1,5 miliar dolar AS guna menangani pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara. Dijadwalkan, dalam lima tahun mendatang baik penambangan maupun pengolahan bijih nikel menjadi konsentrat sudah bisa beroperasi.Keberadaan ERAMET dalam penambangan nikel di Indonesia dilakukan melalui PT Weda Bay Nikel (WBN). Perusahaan ini sahamnya selain dikuasai ERAMET, sebesar 10 % dimiliki PT Aneka Tambang Tbk. (Antam). Namun usai study kelayakan (Feasibility Study-FS) saham Antam akan menjadi 25 % dan selanjutnya diberikan opsi kepemilikan saham lagi.
Potensi cadangan terbukti nikel yang ada di areal tambang yang akan di produksi mencapai 60 juta ton. Sedang cadangan terukur sebesar 18 juta ton. Sedang menurut Jacques CEO ERAMET, pabrik pengolahan yang akan dibangun memiliki kapasitas sebesar 60 ribu ton per tahun. Jacques mengungkapkan ERAMET telah memiliki pengalaman penambangan nikel di Kaledonia Baru dan Gabon. ‘’Kami memiliki teknologi yang aman bagi lingkungan maupun daerah aliran sungai,’’ ujar Jacques. Ia menjamin bahwa pengoperasian tambang yang dilakukan perusahaannya mampu menjaga kelestarian alam disekitar tambang.

Masihkah kita main2 dalam pengembangan Sumber Daya Manusia masyarakat Halmahera Tengah...??? sebuah pertanyaan yang pantas mendapat jawaban yang tepat dan bijak bagi generasi fagogoru mendatang.
Apa tindakan yang tepat kedepan guna menindaklanjuti potensi yang terkandung dalam bumi fagogoru tersebut...??
1,5-2 miliar dollar AS, saat ini setara dengan 15 atau 20 triliun rupiah. ini berarti WBN akan memberikan devisa bagi Indonesia sebesar Rp15 T per tahun. sungguh nilai yang melebihi cukup bagi pembangunan Halmahera Tengah jika saja 10 atau 20 persennya di berikan ke daerah.
Sumber : Departemen ESDM RI
Teruskan baca - Investasi Weda Bay Nikel

Wisata ke Negeri Fagogoru


Pesona Wisata Goa Boki Moruru

Kabupaten Halmahera tengah adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Maluku Utara yang memiliki potensi wisata luar biasa. Salah satunya adalah Goa Boki Moruru yang berada di salah satu Kecamatan baru di Halmahera Tengah yaitu Kecamatan Weda utara yang ibukotanya di desa Sagea. Konon katanya goa ini dulu adalah tempat persembunyian tentara Jepang, ada juga yang bilang bahwa ini adalah tempat persembunyiannya Sultan jailolo ketika Ia dikejar oleh pasukan dari Kesultanan ternate, yang pada waktu itu terjadi konflik antara kedua kesultanan besar di jazirah Moloku Kieraha.


Sejak Maluku Utara masih menjadi Kabupaten di bawah Propinsi Maluku yang beribukota di kota Ambon, goa Boki Moruru sudah dikenal oleh dunia luar akan keunikan dan juga keajaibannya. Akan tetapi waktu itu goa yang konon tak berujung ini kurang mendapat perhatian husus dari pemerintah akan potensi wisatanya. Pada 1999, Maluku Utara resmi memisahkan diri dari Propinsi Maluku, dan menjadi propinsi Maluku Utara. Bersamaan dengan itu, Propinsi muda ini pun membagi beberapa daerahnya untuk dimekarkan menjadi kabupaten. Halmahera Tengah sendiri adalah kabupaten tertua di propinsi ini, yang dulunya beribukota di Soa Sio. Seiring dengan dimekarkannya kabupaten-kabupaten baru, Halmahera tengah hanya memindahkan ibukota Kabupatennya dari Soa Sio ke Weda. Dari sinilah goa Boki Moruru ini bisa mendapat perhatian husus dari pemerintah akan potensi wisatanya. Berbagai langkah dan kebijakan, diambil pemerintah untuk lebih memperkenalkan ke dunia luar tentang pesona goa Boki Moruru.


Dalam suatu acara di stasiun TV, yang konsepnya berupa petualangan dialam bebas. Yaitu, Perjalanan Tiga Wanita yang ditayangkan oleh stasiun Trans TV. Salah seorang dari 3 wanita yang membawa acara ini, kebetulan kebagian tugas untuk meliput goa Boki Moruru di Sagea. Dinna, sapaan akrab wanita ini. Didalam blog pribadinya “Incredible Dinna” menyebutkan bahwa sepanjang perjalanannya, goa inilah yang paling menarik dan dia pun takjub akan keindahannya. Bersama dengan tim dari dinas pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah, Dinna dibawa menuju desa Sagea setelah sebelumnya menginap di Weda. Kira-kira memakan waktu 1-2 jam apabila menggunakan motor laut atau speed boat dari dermaga Weda. Untuk jalur darat sendiri, sampai saat ini masih sulit karena kondisi jalan yang kurang baik, lagipula sangat jauh apabila menggunakan jalur darat. Kita harus mengikuti pinggiran semenanjung ngolopopo di teluk Weda, bagian tengah dari Pulau Halmahera.


Sekitar tahun 1990-an, goa ini pernah didatangi oleh peneliti dari Prancis berjumlah 2 orang. Mereka kesana untuk melihat keunikan dari goa tersebut sekaligus meneliti panjang dari goa boki Moruru. Menurut informasi dari masyarakat setempat, mereka bersama dengan beberapa orang penunjuk jalan berada didalam goa selama kurang lebih 2 minggu. Namun ketika keluar, mereka hanya mendapatkan keindahan dari dalam goa tersebut, seperti adanya batu-batu Stalakmit dan Stalaktit yang menghiasi dinding dan jalan-jalan didalam goa Boki. Sedangkan panjang dari goa tersebut, menurut informasi belum bisa dipastikan karena semakin kedalam, jalan goa itupun semakin sempit dan tidak bisa dilalui oleh mereka. Dan juga berhubung ketika itu persediaan logistik mereka hampir habis. Sehingga mereka pun memutuskan untuk segera keluar dari goa.


Didalam gua sendiri, terdapat banyak keindahan yang menghiasi dinding-dinding gua. Selain batu stalakmit dan stalaktit ada juga bunyi dari tetesan air dalam keheningan diantara warna-warna gelap di dalam gua yang menyerupai alat musik harmafon ataupun saxophone. Ada juga batu yang mengerucut bagai keris atapun piramida terbalik yang terbentuk dari tetesan air dari atap gua. Dan uniknya batu-batu itu tidak berwarna sesuai dengan warna dinding gua yaitu coklat, akan tetapi berwarna putih bening seperti lilin. Indah bukan !


Masih banyak lagi keindahan dan juga keunikan dari gua Boki Moruru ini, tentunya apabila kita sendiri yang menyaksikannya dengan mata kepala kita. Dari luar mulut gua saja, ada sebuah daratan kecil yang biasa dipakai oleh pengunjung untuk beristirahat sejenak sebelum memasuki gua. Daratan atau buleu (sebutan untuk daratan ditengah air, tempat istirahat) ini dikelilingi oleh air yang keluar dari pinggir mulut gua yang mengitarinya. Airnya pun dingin bagai dalam lemari es, batu-batu kecil yang mulus menjadi tikar alami bagi para pengunjung yang sedang beristirahat. Kadang-kadang tempat ini juga dijadikan sebagai tempat untuk mengisi gudang tengah alias makan sebelum melanjutkan perjalanan kedalam gua. Dipinggiran buleu ini, terdapat kebun para warga yang menanam aneka sayur dan juga buah-buahan. Sehingga kita pun bisa langsung meminta atau membeli hasil perkebunan mereka dengan memetik semuanya langsung dari pohon. Hm…… seger…!


Untuk mencapai gua tersebut, dari ibukota Jakarta. Pertama anda harus memesan tiket pesawat dengan tujuan Ternate. Ada beberapa penerbangan dalam negeri yang routenya ke Ternate, misalnya anda bisa menggunakan Merpati airlines, Lion air, Express air, Batavia air, Sriwijaya air dll. Namun saya sarankan agar memakai pesawat yang langsung Jakarta-Ternate seperti, Batavia air atau Sriwijaya air, biasanya memakan waktu 3 jam diatas udara. Yang lain biasanya transit di Makassar atau Manado.


· Tiketnya relative sekitar 1,3 juta kebawah untuk sekali penerbangan. setelah tiba di Bandara Babullah Ternate, anda bisa memakai jasa mobil rental atau angkutan umum yang ada, menuju ke pelabuhan Kotabaru. Harga sekitar Rp 5000 untuk angkot dan Rp 100.000/orang untuk mobil rental.


· Dari pelabuhan Kotabaru, anda bisa langsung menaiki speed boat menuju Sofifi. Per orang dikenakan biaya Rp 30.000. Atau anda bisa langsung mencarter dengan harga kurang lebih Rp 300.000 per speed boat berkapasitas 10-12 orang.


· Sesampainya di Sofifi, sudah ada mobil seperti kijang innova, avanza, APV dll yang siap mengantar anda langsung ke Weda, Ibukota Kabupaten Halmahera tengah. Dengan biaya 110 ribu/orang.


· Kurang lebih 1,5-2 jam memakan waktu dalam perjalanan ini. Sesampai di Weda, anda bisa memilih beberapa penginapan sederhana yang ada untuk beristirahat, mungkin dengan keluarga anda. Satu malam harganya pun bervariasi tergantung dari tipe penginapan, cukup dengan Rp 25-50 ribu, anda dan keluarga bisa tidur nyenyak dengan fasilitas yang cukup memadai.


· Keesokan harinya, anda bisa langsung menuju dermaga Weda. Disana setiap waktu selalu ada transportasi menuju ke desa Sagea. Per orang kurang lebih, Rp 50-75 ribu dengan menggunakan speed boat. Hanya dalam 1-1,5 jam anda sudah bisa melihat kubah masjid desa Sagea yang tampak silau terkena sinar matahari alias tiba di Sagea. Nah, disana anda bisa saja menginap di rumah warga, atau ada yang menyewakan kamar. Namun, perjalanan ke gua ini dalam sehari pun anda sudah bisa memuaskan diri dengan keindahannya. Paling, anda hanya butuh satu malam di desa Sagea ini. Anda bisa menyewa jasa para warga untuk mengantar anda ke gua Boki Moruru tersebut. sekedar uang rokok, anda cukup mengeluarkan Rp 50.000 untuk pengantar tersebut.


· Kurang lebih 3-5 juta anda sudah bisa menikmati pesona gua boki Moruru yang terindah di Jazirah Moloku Kieraha atau Propinsi Maluku Utara. Dan ingat ! semua itu, sudah termasuk ongkos pulang-pergi anda.


Tapi anda tidak perlu terlalu hawatir dengan semua ini, karena masyarakat disana pun sangat ramah dan menerima anda dengan senang hati. Bisa jadi, anda disuruh menginap gratis di rumah mereka plus makan. Asyik bukan…!! Disamping itu, anda bisa menikmati wisata-wisata lain di Propinsi Maluku Utara. Seperti wisata sejarah dan juga wisata budaya.


Saya sarankan ketika masuk kedalam gua, sebaiknya anda memakai pakaian yang gelap alias hitam atau coklat. Soalnya, apabila baju anda terkena lumpur dari dalam gua tersebut, nodanya susah untuk lepas dari baju anda. Dan juga jangan memakai perhiasan berharga, seperti cincin emas, kalung, ataupun gelang emas, karena tanpa sadar barang-barang itu bisa hilang begitu saja. Mungkin yang Kuasa melalui gua ini, ingin mengingatkan pada kita bahwa jangan terlalu memamerkan kekayaan, karena semua itu tak akan abadi atau mungkin saja tak seindah pemandangan didalam gua. He he he….! Penerangan didalam gua hanya bisa menggunakan obor, sedangkan senter atau sejenisnya tidak terlalu terang, karena suhu yg terlalu dingin didalam gua yang menyebabkan baterainya lemah.


Untuk anda yang ingin bepergian kesana, jangan lupa persiapkan kondisi kesehatan anda dengan sebaik-baiknya.


Selamat berwisata !
Teruskan baca - Wisata ke Negeri Fagogoru

HALTENG BEBAS PENYAKIT MENULAR


a. Angka Kesembuhan TB Paru BTA(+)
Cure Rate (CR) TB Paru di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2007 telah mencapai taget nasional 85%. Walaupun demikian case detectin rate (CDR) hanya 22,76% artinya bahwa penemuan penderita TB Paru masih rendah, dan juga di beberapa puskesmas CR (angka kesembuhan) dan CDR (penemuan penderita TB Paru) belum menunjukkan hasil optimal. Oleh karena itu perlu optimalisasi pengobatan, penemuan dan peningkatan kinerja puskesmas secara kontinu, terarah dan terkoordinasi. Gambaran angka kesembuhan dan suspek (tersangka TB Paru) per puskesmas

b. HIV/AIDS
Kabupaten Halmahera Tengah sampai tahun 2007 belum ditemukan kasus HIV/AIDS. Walaupun demikian penduduknya berisiko tinggi karena letak geografis dan mobilisasi penduduk ke wilayah Papua yang memiliki insidence HIV/AIDS sangat tinggi di Indonesia dapat diakses dengan muda dan murah. Dan juga sampai sekarang belum dilakukan kegiatan menyelidikan kasus dengan alasan daerah ini tidak memiliki kelompok risiko tinggi seperti tempat-tempat hiburan malam atau lokalisasi pekerja seks komersial.

c. Demam Berdarah (DBD)
Penyakit DBD di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2007 ditemukan 3 kasus yakni 2 kasus di puskesmas Weda dan 1 kasus di puskesmas Wairoro, semuanya ditangani (100%) di puskesmas. Dan berdasarkan hasil penyidikan epidemiologi kasus tersebut penularannya terjadi di Kota Ternate dan berhasil diidentifikasi di Puskesmas Weda dan Wairoro.

d. Infeksi Menular Seksual
Penyait Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2007 berjumlah 2 kasus yang ditemukan di Puskesmas Tepeleo Kecamatan Patani Utara dan telah mendapat pengobatan di puskesmas setempat.

e. Diare
Di kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2007 jumlah penderita diare sebanyak 929 kasus dan 476 atau (51,24%) diantaranya adalah balita dan sebanyak 99,6% balita dapat ditangani sesuai protap pengobatan diare. Jumlah kasus diare tertinggi adalah puskesmas Sagea menyusul puskesmas Weda dan Tepeleo serta yang terendah adalah puskesmas Patani. Sedangkan penanganan kasus diare pada balita dan mencapai target 100% adalah puskesmas Weda, Wairoro, Patani dan Tepeleo diikuti puskesmas Sagea 99,4% dan puskesmas Gebe 98%.

f. Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Hasil survailans terhadap kasus AFP di Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2007 tidak ditemukan kasus AFP.

g. Filariasis
Dari hasil investigasi surveilans pada tahun 2007 ditemukan 3 kasus filariasis yang terdistribusi di tiga desa berbeda yaitu 2 orang di puskesmas Patani dan 1 orang di puskesmas Gebe dan baru 1 desa yang dilakukan pengobatan pencegahan pada kelompok risiko. Dan 2 desa yang lain direncanakan pengobatannya pada tahun 2008.

h. Kusta
Angka RFT penderita kusta di Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2007 belum mencapai target SPM >90% dan juga prevalence rate masih tinggi yakni 4 per 10.000 penduduk artinya bahwa dari setiap 10.000 penduduk di Kabupaten Halmahera Tengah akan ditemukan 4 penderita kusta dari target 1 per 10.000 penduduk. Data RFT penderita kusta per puskesmas

i. Pola Penyakit
Prosentasi masyarakat di Kabupaten Halmahera Tengah yang sakit pada tahun 2007 yakni 10.616/44,361 penduduk = 23,93%, diantaranya 90,39% merupakan kelompok 10 penyakit terbanyak dengan peringkat pertama penyakit malaria diikuti penyakit sistim otot dan jaringan pengikat kemudian penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) dan Diare sedangkan yang terendah penyakit TB Paru BTA positif

Peringkat Jenis Penyakit Jumlah %
I Malaria Klinis 3.225 30,38
II Peny Sist Otot & Jaringan Pengikat 2.569 24,20
III ISPA Non Pneumonia 1.166 10,98
IV Diare 929 8,75
V Penyakit Mata Lain 623 5,87
VI Kecelakaan dan Ruda Paksa 585 5,51
VII TB Paru Klinis 226 2,13
VIII Penyakit Kulit Infeksi 129 1,22
IX ASMA 105 0,99
X TB Paru BTA (+) 39 0,37
Jumlah 9.596 90,39
Total Kesakitan 10.616 100
Sumber: Seksi Yankes Dinas Kesehatan Kab. Hal-Teng Tahun 2007

Keadaan tersebut diatas menggambarkan pola penyakit di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2007 masih di dominasi penyakit menular dan infeksi.
Teruskan baca - HALTENG BEBAS PENYAKIT MENULAR

Jumat, 11 Desember 2009

Pendidikan di Maluku Utara: Antara angka dan Fakta

Pendidikan adalah proses pembebasan diri dari kebodohan dan kunci menuju perubahan. Di Maluku Utara pendidikan justru dikelola asal jadi.

Sekolah yang awalnya enam lokal itu, kini tinggal tiga kelas yang bisa dipakai. Itupun kalau hujan siswanya harus istirahat belajar. Harap maklum, atapnya sudah 80 persen bocor. SD di Desa Toliwang, nun di pedalaman Kao, Halmahera Utara ini, sudah dibantu dengan dana Inpres sekitar 30 tahun lalu. Sejak saat itu kondisi bangunan ini nyaris tak tersentuh bantuan. Dinding bangunan yang hanya dari Asbes, kini sebagian besar sudah keropos.
Kisah di atas baru awal cerita tentang kondisi fisik bangunan sekolah di Maluku Utara. Sampai awal tahun 2005 di kota Tidore Kepulauan, masih ada sekolah dengan kondisi mirip kandang ayam, dindingnya dari papan dan lantainya tanah. Baru pada TA 2005-2006 lalu, dibangun unit sekolah baru oleh Pemda Tikep. Lokasi sekolah itu hanya di pesisir Oba yang dapat dijangkau dalam waktu 1 atau 2 jam transportasi laut dari Tidore atau Ternate.
Keluhan soal terbatasnya sarana gedung, tak hanya datang dari pelosok terpencil. SD Mononutu yang terletak di jantung kota Ternate---ibukota provinsi sekarang---dalam lokasi yang sama sekaligus terdapat 4 Sekolah Dasar: SD Mononutu 1 dan 2 serta SD Kenari Tinggi 2 dan 4. “Kita ini sekolah di dalam kota, namun masih pararel, double shitf. Ini yang saya pikir bahwa kita berteriak mau maju namun sekolah masih tetap double shitf, ya sulit,” Keluh sang Kepala Sekolah.
Ini adalah ironi pembangunan pendidikan Indonesia. Padahal, seperti kata Ade Tais A.Ma. Kepala Sekolah SD Manunutu 1 Ternate, lembaga pendidikan memproduk generasi masa depan. ”Saya pernah minta kepada pemerintah, kalau boleh sekolah ini ditambah ruang belajarnya, karena memang muridnya cukup padat, minatnya cukup banyak, tetapi terbatasnya masalah gedung, fisiknya. Padahal, bangun gedung mewah yang hebat-hebat saja bisa,” ujarnya getir.
Ade patut prihatin. Karena Negara ini memiliki konstitusi yang mengharusnya prioritas pembangunan pendidikan. Negara memprioitaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Itu pesan pasal 31 ayat 4 UUD ’45.
Lalu apakah ini semua karena target 20 persen anggaran pembangunan diarahkan ke pendidikan tidak tercapai? Alumnus D2 STAIN Ternate ini sepakat jika anggaran pendidikan dinaikkan, banyak problem pendidikan seperti sarana penunjang pendidikan, dan kesejahteraan guru, dapat terpecahkan.
Di Maluku Utara, soal dana sepertinya tak jadi soal. Karena, anggaran yang masuk tahun 2007 ini jumlahnya lumayan: trilyunan rupiah. Tapi berapa yang kemudian dialokasikan ke sektor pendidikan? Said Hasan MPd, Kadis Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Maluku Utara mengaku, alokasinya sebesar Rp. 11 milyar. Masih jauh dari ideal.
Ini masih jadi masalah. Jangankan SD Toliwang di pedalaman Halmahera yang hampir roboh dimakan waktu. Di Ternate yang ibukota provinsi saja, satu bangunan dipakai hingga empat sekolah. Padahal idealnya, ujar Bapak enam anak ini, satu gedung sekolah hanya boleh dipakai satu sekolah. Tidak boleh dipakai lebih dari satu sekolah, atau dalam bahasa Ade, tidak boleh double shift.
Langkah dan upaya pemerintah guna perbaikan sektor pendidikan bukan tak ada. Kebijakan Pemprov Maluku Utara sebagaimana dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan 2002-2007 (RPJMD-red), mencanangkan antara lain ─Memperluas daya tampung SD, sekolah menengah dan pendidikan prasekolah yang lebih terjangkau dan berkualitas. Pembangunan sarana prasarana yang merata di seluruh Kabupaten/Kota. Peningkatan kualitas pendidikan, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan keluarga kurang mampu. Peningkatan kualitas, profesionalitas, kesejahteraan, citra, wibawa, harkat dan martabat guru. Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas.
Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab kondisi obyektif pendidikan Maluku Utara tahun 2002 silam, dengan jumlah SD 1.141, jumlah siswa 147.841dan jumlah guru 5.140. SLTP 189 unit, siswanya 46.208 dengan jumlah guru 3.499, dan SMU/SMK 71 unit, 24.771 siswa serta 1.152 guru. Disamping juga penyebaran tenaga pengajar pendidikan dasar yang belum merata pada wilayah kecamatan dan desa, melainkan terpusat pada ibukota kabupaten, daya tampung SMU/SMK dan sederajat terhadap lulusan SLTP, serta permasalahan kuantitas dan kualitas pendidikan secara umum. Kenapa daftar panjang ini perlu diangkat? Karena kini, kita tengah berada di tahun 2007, mendekati garis finish dari program yang dicanangkan 5 tahun lalu. Seberapa besar capaian dari program yang telah dicanangkan?
Hasan punya argmentasi sehubungan dengan rencana kerjanya. “Sekarang itu masih perluasan akses di samping kita ikuti dengan peningkatan mutu. Mengapa perluasan akses, karena infrastruktur kita belum memenuhi standar ideal,” jelasnya.
Perlu perhatian serius adalah angka yang ada dalam pendahuluan RKPD Pemprov. Maluku Utara 2006 berubah signifikan. Jumlah Sekolah mengalami pertambahan, tetapi terjadi penyusutan jumlah guru. SD 1.179 unit, SLTP/MTs. 253 unit, SMU/MA 215 unit, PT 8 unit. Sementara jumlah guru SD yang dibutuhkan 10.169 yang tersedia 669 orang, SLTP/MTs membutuhkan 1.319 orang guru dan yang tersedia baru 729 orang, tingkat SMK membutuhkan 568 orang yang tersedia baru 148 orang.
Itu perencanaan dari Pemprov untuk menjawab masalah pendidikan Maluku Utara, dengan mengacu pada data yang ada. Tapi mari kita lihat statistik BPS. Maluku Utara dalam Angka 2005-2006 mencatat, pada tahun 2005 jumlah SD se provinsi sebanyak 1.148 sekolah. Guru yang melayani sebanyak 7.364 orang. Jumlah itu tersebar di berbagai pelosok, dan mendidik murid-murid SD yang 212,323 jiwa. Jika dibagi secara merata, setiap sekolah kebagian 6 guru.
Kenapa datanya harus berbeda, dan selisih angkanya begitu besar? Kalau menggunakan data RKPD Pemprov, jumlah SD tidak sebanding dengan jumlah guru. Karena SD sebanyak 1.179 unit harus dilayani hanya dengan 669 guru. Logikanya, jika seorang guru tidak mengajar dua sekolah maka ada 510 unit sekolah yang kosong tanpa guru. Dengan sendirinya, pembangunan sekolah baru belum layak dilaksanakan saat ini. Namun, hingga saat ini belum ada laporan, sekolah dalam jumlah besar yang tak ada gurunya. Bahkan SD Toliwang yang begitu memprihatinkan, ternyata masih ada gurunya.
Ajaibnya, ada sekolah di dalam kota yang gurunya berlebih, tapi ada juga sekolah di pelosok yang hanya diasuh satu orang guru. Lalu data mana yang harus dipakai? Apakah database pendidikan yang begini kacau yang layak untuk dijadikan referensi dalam menyusun RKPD provinsi? Pertanyaan ini patut diajukan, karena data BPS tahun 2006 melaporkan, dari 907.130 penduduk Maluku Utara, masih ada 44 ribu yang buta huruf. Yang tak memiliki ijazah sama sekali jumlahnya 29,10 persen dari total jumlah penduduk Maluku Utara.
Dengan manajemen yang begitu sengkarut, kapan kita bebas buta huruf? Harap maklum, dengan manajemen seperti ini, seperti dikeluhkan Ade Tais, sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jika perencanaan pendidikan seluruhnya tetap sekacau ini, jangan harap generasi penerus Maluku Utara menerima pendidikan yang layak. Lalu dari mana harus membenahinya?
Said Hasan punya jawaban, masalah data base yang utama saat ini karena Dinas-Dinas di tingkat Kabupaten Kota tidak memasukkan laporan data mereka ke dinas provinsi. Ini problemnya. Untuk pemecahannya, pihaknya sudah merencanakan rembuk pendidikan se provinsi Maluku Utara. Maksud dari acara ini adalah untuk menyamakan data pendidikan se provinsi. Jika tidak dilakukan, sulit mendapat angka yang pasti dalam data base pendidikan di Maluku Utara.
Selain itu, tenaga pendidik yang beralih ke birokrasi menjadi tenaga struktral, baik di dalam maupun di luar instansi pendidikan sementara mereka asih terdaftar sebagai tenaga pendidik, juga salah satu yang diakuinya turut mengacaukan data jumlah pendidik. “Alih fungsi jabatan struktural itu sah-sah saja. Tapi yang dikuatirkan adalah pengalihan fungsi itu tidak berdasarkan analisis yang matang. Di bidang strategis, tidak harus menggunakan orang yang bukan ahli pendidikan. Pada saat di perhadapkan dengan program, misalnya UNDP, kan tidak nyambung karena bukan ahlinya,” ujarnya lagi. Rumitnya lagi, lanjutnya, budaya masyarakat Maluku Utara ternyata belum taat azas.
Gufran A. Ibrahim, Pembantu Rektor III Universitas Khairun Ternate punya jawaban penting soal kendala utama dunia pendidikan Maluku Utara. Masalah mendasar pendidikan di Maluku Utara adalah bagaimana menyiapkan blue print-nya. “Blue Print itu merupakan kerangka dasar perencanaan pendidikan Maluku Utara. Nah, blue print itu juga tidak jatuh dari langit tapi disiapkan melalui suatu survey pemetaan masalah-masalah pendidikan Maluku Utara. Dari hasil survey itulah kemudian dibuatkan blue print-nya atau dalam bahasa lain, adalah kerangka dasar sebuah perencanaan dan pengembangan pendidikan di Maluku Utara,” ujarnya.
Pemprov punya Rencana RPJMD (rencana 5 tahunan-red), kemudian di derivasikan kedalam RKPD (rencana tahunan-red), melalui Renja dan Rentara SKPD masing-masing instansi. Menurutnya, ini juga dibaca sebagai blue print, tetapi ada satu soal yang diakui oleh hampir seluruh instansi — data base mengenai masalah terkait dengan masing-masing instansi, juga diragukan kesahihannya. “Di kalangan pendidikan pun demikian, jangankan orang luar, dari dalam sendiri juga tidak begitu haqqul yakin mengenai kesahihan data itu, “ jelasnya.
Makanya ia menganjurkan sebuah survey secara komprehensif. “Mengapa survey perlu dilakukan, karena memang data base mengenai masalah-masalah pendidikan itu juga tidak valid menurut pengakuan mereka, tegasnya.
Jadi, itu kata kuncinya, harus mulai dari survay pemetaan masalah-masalah pendidikan lalu lahirkan blue print, dan itu dapat dibaca sebagai Renstra Dinas pendidikan 5, 10 atau 15 tahun kedepan, hingga berganti siapapun kepala dinasnya, itu kerangkanya. “Saya sudah pernah komunikasikan dengan teman-teman, termasuk juga kepala dinasnya (Kadis Dikjar Prov. Maluku Utara-red), waktu dia diminta ke sana (sebagai kadis-red), saya saran kepada untuk melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi, tapi itu kemudian tidak terjadi, karena terjebak dengan persoalan blockgrant, itu salah satu penyebabnya. Terjebak dalam pengertian hanya melihat kesitu, padahal harus memulai dengan survay tadi. Saya yakin survey dimaksud akan menjadi mula dari bagaimana merancang Pendidikan Maluku Utara kedepan,” jelasnya.
Mengenai alokasi dana untuk pendidikan di Maluku Utara, diaku Said belum sampai 20 persen sebagaimana amanat konstitusi. Tapi, menurutnya sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik. “Tahun 2006 lalu kira-kira 10 persen,” jelasnya.

Problem Gonta Ganti Kurikulum

MASALAH ini ditengarai sebagai problem krusial yang belum tertangani dengan baik. Orde silih berganti dengan kebijakan yang terus diperbaharui tak banyak mengubah pelayanan maupun mutu pendidikan Indonesia. Para menteri sejak Kabinet pembangunan dibawah kendali Soeharto, hingga Kabinet persatuan dibawah komando SBY ─ yang berubah hanya aspek yang jauh dari esensi. Depdikbud berganti nama menjadi Diknas atau Dikjar.
Dan juga kurikulum serta manajemen pengelolaan pendidikan yang terus berubah seperti CBSA, Link and Match, KBK, hingga yang terkini KBSP, tidak memberi dampak berarti bagi kualitas dan mutu pendidikan kita. Konsep yang dijejali itu sulit diimplementasikan, karena terbatasnya sarana dan prasarana, kompetensi tenaga penyelenggaranya, serta dukungan dana yang terbatas.
Semua itu, menurut Said Hasan, sumbernya pada manajemen yang tidak bagus. “Mutu itu ada jika manajemen bagus. Sama dengan, proses pendidikan adalah pembiasaan. Jadi kalau torang bicara mutu pendidikan maka kita bicara efek ikutan dari sebuah proses pendidikan. Kalau sebuah infrastruktur tidak bagus maka tidak akan mungkin prosesnya bagus, dan kalau prosesnya tidak bagus, maka tentu mutunya tidak akan bagus,” terangnya panjang lebar.
Dinasnya sudah berupaya menjawab masalah itu dengan melakukan perencanaan meliputi penyiapan infrastruktur, Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas. Tapi dalam bahasa Said, pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Karenanya, jangan saling menyalahkan. Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan memecahkan masalah pendidikan secara serius.

Tim GENTA
Dikutip dari GENTA EDISI II, Oktober 2007
Teruskan baca - Pendidikan di Maluku Utara: Antara angka dan Fakta

Pelacuran dan AIDS, Masalah Sosial yang Rumit

Jailolo, Halmahera Barat. Pagi tanggal 6 Agustus 2008. Saya lagi asyik membaca tumpukan dokumen verifikasi calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Maluku Utara. Membuka satu demi satu, diantara mereka ada muka lama di DPD, yang kiprahnya di senat sudah diketahui rakyat Maluku Utara.

Karena kelelahan, saya istirahat. Sekadar refreshing, saya berselancar di dunia maya. Waktu membuka Kompas online, saya kaget. Karena di berita daerah saya, Ternate, ada satu berita yang mengusik pikiran saya. Judulnya, “PSK di Ternate Makin Mengkhawatirkan”. Laporan yang dikutip dari KBN ANTARA itu sudah biasa, tapi ketika diangkat menjai wacana nasional, saya jelas kaget.

Membaca berita ini secara serius, saya teringat penelitian sejumlah dosen muda di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Laporan tim yang dinakhodai Taty Sumiaty, SKM., dari Fakultas Ilmu Kesehatan UMMU ini mendeskripsikan secara telanjang, betapa wajah kota yang disebut-sebut pernah punya sejarah Islam yang gemilang di masa lalu, mulai dari Zainal Abidin, Baabullah, hingga Bayan Sirullah, kini telah bopeng sana sini.

Penelitian tiga dosen muda di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara akhir 2006, tentang perilaku seks di kalangan pelajar SMU, melengkapi keterkejutan warga Ternate. Kurang lebih 12,7 persen dari 1076 sampel, atau sekitar 137 siswa SMU, ternyata pernah melakukan seks bebas. Entah itu dengan pacar, teman, saudara, bahkan dengan pekerja seks.

Dari segi usia, ternyata pengalaman berhubungan layaknya suami istri, telah dilakukan anak-anak ini sejak usia yang masih sangat dini. Sebanyak 137 siswa dan siswi SMU ini, 21,9 persen sudah melakukan di usia antara 12 hingga 14 tahun. Jumlah terbesar, 73 persen, mengaku sudah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis di usia 15 sampai 17 tahun. Hanya 2,2 persen yang melakukan di atas usia 17 tahun.

Studi di 17 SMU dan sederajat di kota Ternate ini hanya menegaskan dengan jelas gambaran wajah kota Ternate kini, dalam bentuk yang paling kelam. Bukan rahasia lagi, perilaku seks menyimpang ini telah melahirkan generasi pelajar sekolah menengah yang disebut dengan toteba, yang memandang, berhubungan seks tak lebih dari proses jual beli. Bukan lagi sekadar just for fun.

Budaya Ternate sendiri, yang cenderung terbuka (inklusif) memberi peluang bagi masuknya budaya asing, baik yang positif maupun negative. Penetrasi budaya ini sudah terjadi sejak jaman Portugis, lalu Belanda, dan akhirnya sekarang, membentuk karakter masyarakat yang cenderung bisa menerima akulturasi budaya.

Bagusnya, di masa lalu, Islam selalu menjadi filter, yang dibahasakan sebagai “Adat matoto agama Rasulullah”. Dengan demikian, pemegang otoritas hukum kesultanan Ternate masih dapat menindak mereka yang dianggap melanggar adat, dengan hukum kesultanan yang tegas.

Seiring berjalannya waktu, kemerdekaan Indonesia memberi ruang bagi tumbuhnya daerah-daerah bisnis baru. Ternate, sebagai Bandar bisnis tradinional, terus tumbuh menjadi daerah pelabuhan baru. Pembenahan oleh pemerintah terus dilakukan.

Nah, sebagai kota Bandar, mau tidak mau Ternate harus menerima kenyataan, tumbuhnya pelacuran terselubung. Awalnya, hanya untuk melayani para pelaut yang kebetulan menyinggahi pelabuhan Ternate, kemudian berlanjut masyarakat lokal juga mulai menjadi konsumen para pekerja seks ini.

Dari sini, pelacuran kemudian membentuk komunitas tersendiri yang cenderung ekslusif, dan mulai dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat. Komunitas ini yang lalu menjadi bisnis yang dikelola secara professional, mulai dari memasok pelacur dari Sulawesi dan Jawa, hingga mendistribusikan ke diskotik-diskotik, karaoke room, dan hotel.

Pada tahun 1990-an, majalah Fakta menulis tentang Bastiong, sebuah kelurahan di daerah pelabuhan di Ternate. Judul tulisannya menyengat banyak pihak, “Bastiong, Kampung Penuh Dosa.” Deskripsi tentang perilaku penjaja seks di sepanjang tepian jalan dekat pelabuhan sungguh memiriskan hati, sekaligus menyentak kesadaran banyak petinggi politik maupun agamawan di Ternate.

Berita itu sempat membuat petinggi pemerintah Kabupaten Maluku Utara (saat itu Maluku Utara belum provinsi sendiri, masih gabung dengan Maluku) meradang. Penertiban pelaku seks jalanan berlangsung di bawah kendali Bupati Kolonel Abdullah Assagaf (sekarang Brigjen purnawirawan).

Sempat berhenti beberapa saat, namun karena para cukongnya tak terjerat, maka kemudian diam-diam muncul lagi. Diskotik juga mulai jadi tempat mejeng baru bagi para PSK yang diambil dari wilayah Sulawesi Utara dan Jawa/Sunda.

Keadaan ini terus berjalan hingga saat konflik horizontal di Maluku Utara, 1999 – 2000 silam. Di saat laskar Jihad sibuk mengurus orang untuk menegakkan syariat Islam, di jantung kota, para pelacur juga sibuk melayani para pelanggannya. Saat itu, saya bekerja di Mingguan Ternate Pos. Saya pernah ditugasi pemred saya, Rahman Lahabato, menulis tentang pelacuran yang kian merajalela. Saat yang sama, bos saya di Jakarta, Sri Raharti Adiningrum, Kordinator Daerah Majalah Forum Keadilan, meminta saya menulis tentang janda-janda korban konflik.

Bersama Alwi Attamimi, kami berdua menelusuri jejak-jejak pelaku PSK. Penelusuran kami akhirnya sampai ke pertigaan di depan Gereja Ayam Ternate. Di samping gereja yang waktu itu masih hancur karena konflik komunal, kami menemukan yang kami cari: kafe kecil, yang di bagian belakangnya ada bilik-bilik kecil untuk para pekerja seks ini.

Kami tak berani wawancara, karena saat itu situasi masih mencekam, ada beberapa prajurit TNI BKO yang hilir mudik dan bercanda dengan “ayam-ayam” kampong ini, maklum Presiden Gus Dur baru baru memberlakukan status Keadaan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara.

Tapi, melongok kamar-kamar sederhana di kamar-kamar kafe yang bernama pondok Kelapa itu, kita terhenyak. Di pintu kamar ada stiker bertuliskan, “ketuk dan ucapkan, Assalamualaikum. Tulisan Assalamualaikum dalam aksara Arab. Di kamar sebelahnya, begitu saya dengan kawan Alwi melongok ke dalam, di samping seorang gadis yang lagi duduk, terlihat salib kecil di samping meja rias kecil.

Padahal tak jauh dari situ, anggota laskar Ahlussunnah Wal Jamaah, semacam provost-nya Laskar Jihad, terlihat menggeledah kafe dan rumah yang diduga menampung perempuan pekerja malam. Sekali waktu, saya sempat menyaksikan mereka menggerebek rumah yang di dalamnya ada empat orang, satu diantaranya perempuan, lagi asyik bermain judi. Pelakunya digelandang ke depan mesjid Al-Fajry, yang menjadi basis pasukan Jihad lokal.

Peristiwa yang delapan tahun berlalu itu telah menjadi sejarah. Tapi perilaku penjaja seks tetap tak berubah. Bahkan makin canggih dan jumlahnya makin meningkat seiring tumbuhnya bisnis hiburan malam, macam karaoke dan diskotik yang bertameng kafe & Restoran.

Inilah fakta, kota Madani yang diidamkan warganya, tercemar nista dan AIDS. Kota yang oleh Jubair Situmorang, dari STAIN Ternate, diistilahkan sebagai mengalami kejutan akibat lompatan budaya yang terlalu radikal, yang tak mampu direduksi warganya. Menurutnya, ini fenomena yang harus ditangkap dengan serius oleh warganya, utamanya oleh pemerintah dan tokoh masyarakatnya. Agar identitas religious kota Madani tak serta merta tercerabut begitu saja.

Drs. Mudaffar Syah, sultan Ternate mengaku, pergeseran budaya memang sudah jadi fenomena nasional. Tapi menurutnya, jika perencanaan tentang pembinaan masyarakat tidak memiliki konsep yang jelas, maka lebih kacau lagi. “Masyarakat kita, utamanya anak muda, akan jadi korban,” jelas politisi PDK yang kini duduk di kursi DPR RI ini.

Ternate, 13 Agustus 2008
sumber Tulisan : http://uchie-jalil.blogspot.com/2008/08/pelacuran-dan-aids-masalah-sosial-yang.html
Teruskan baca - Pelacuran dan AIDS, Masalah Sosial yang Rumit

Kamis, 10 Desember 2009

Penggusuran PKL dan Politik Pemerintahan Kota


PENGGUSURAN pedagang kaki lima di Jakarta tak lain adalah cerita lama yang sudah amat usang. Namun, sedemikian rupa penggusuran PKL berlangsung, akhirnya penggusuran demi penggusuran bermetamorfosis menjadi pentas opera sabun yang tak berujung pangkal, muncul secara repetitif dan tinggal menunggu waktu meletup sebagai persoalan sosial.

Penggusuran yang baru saja berlangsung misalnya, memiliki geneologi persoalan dengan masa lampau dan memiliki corak yang hampir sama dengan apa yang bakal terjadi di masa depan. Ini semacam siklus kehidupan yang penuh ketegangan. Generasi masa kini Pemprov DKI Jakarta dan generasi masa kini kaum pedagang kaki lima (PKL) seakan sama-sama terbenam ke dalam perseteruan abadi.

Paling tidak sejak dasawarsa 1970-an, penggusuran PKL sebenarnya telah berkembang menjadi keputusan pemerintahan kota yang vakum dari suasana tawar- menawar menurut kaidah demokrasi. Mau tak mau, seluruh kenyataan ini memperhadapkan secara amat keras format penertiban ciptaan pemprov melawan kelompok perekonomian masyarakat di sektor informal. Sayang, hampir tidak ada upaya memadai pada kalangan internal Pemprov DKI Jakarta untuk mereview secara kritis manfaat dan implikasi yang ditimbulkan berlangsungnya penggusuran PKL. Padahal, obsesi terhadap ketertiban dan keamanan memarjinalisasi nilai dan hakikat ekonomis PKL.

Tinjauan para ahli ilmu sosial soal PKL sebagai kristalisasi dan respons balik terhadap ketidakmampuan negara dalam hal menyediakan lapangan kerja di sektor modern, ternyata tak cukup digdaya mengubah konstruk psikologis petinggi Pemprov DKI Jakarta agar melahirkan paradigma baru kesejahteraan sosial, mengacu keberadaan sektor informal sendiri. Sungguh pun sejak lama kesimpulan para ahli ilmu-ilmu sosial mengedepankan makna penting sektor informal dalam konteks PKL sebagai katup pengaman terjadinya ledakan pengangguran serta penyediaan kebutuhan masyarakat kalangan bawah, penggusuran PKL terus mencari "mangsa". Tak bisa dielakkan reposisi secara tepat PKL tak pernah menjadi bagian inheren bagi tegaknya good governance Pemprov DKI Jakarta.

Yang lalu mendesak ditelaah dari seluruh kenyataan yang memilukan semacam ini ialah sudah tiba saatnya untuk menyimak penggusuran PKL dalam konteks politik pemerintahan kota.

Sebuah irasionalitas

Dalam beberapa tahun terakhir, penggusuran PKL hanya memperkukuh irasionalitas hubungan antara oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta dengan pelaku ekonomi di sektor informal. Di satu pihak, oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta memberi legalitas terhadap kehadiran PKL melalui pungutan uang keamanan, uang kebersihan, sumbangan perayaan 17 Agustus, serta pemaksaan akan adanya tunjangan hari raya (Kompas, 29/11). Ada semacam soft shock yang digerakkan secara permanen oleh para oknum dari kalangan Pemprov DKI Jakarta demi menghegemoni eksistensi sektor informal di pinggiran-pinggiran jalan.

Di lain pihak, tiba-tiba muncul upaya penegakan hukum dalam wujud penggusuran yang dilandaskan retorika ketertiban dan keamanan. Inilah hard shock yang menerpa PKL dan secara kasat mata memunculkan tragedi kemanusiaan. Disimak dalam perspektif ekonomi politik, di sini tidak berlaku asas resiprositas. Pungutan demi pungutan yang diberlakukan oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta tak diimbangi terselenggaranya perlindungan secara terhormat terhadap PKL dari ancaman pemusnahan. Persis bunyi pepatah, penggusuran PKL merupakan wujud paling gamblang dari "habis manis sepah dibuang". Oleh karena itu, persoalan krusialnya kemudian, di mana makna kehadiran negara?

Potret dua realitas yang kontras itu ternyata kehadirannya benar-benar merefleksikan adanya irasionalitas hubungan antara Pemprov DKI Jakarta dengan masyarakat periferal yang terkristalisasi ke dalam kelompok-kelompok PKL. Secara sosiologis, hubungan sumbang ini analog dengan situasi di seputar sleeping with enemies. Persepsi "kawan" dan "lawan" dalam hubungan kedua pihak ternyata dengan mudah bertukar-tempat. Apa arti semua ini?

Baik dalam situasi "aman" tidak adanya penggusuran maupun saat berlangsung penggusuran, kaum periferal dalam konteks PKL ternyata terus menjadi the losser, yakni pihak yang dikalahkan. Hingga pada titik ini timbul persoalan demokrasi dan good governance terbentur jalan buntu, yang pada giliran selanjutnya justru menistakan spirit kesetaraan hubungan antara pemerintah dan warga negara. Ada dan tidak adanya penggusuran ternyata sama-sama memarjinalkan posisi kaum periferal.

Disadari atau tidak, Pemprov DKI Jakarta telah bekerja secara sistematis menumbuhkan benih-benih antagonisme dalam rentang hubungan antara pemerintah dan kaum periferal. Dan seperti mengikuti logika kontrak sosial dalam jalinan interelasi antara state dan civil society maka antagonisme itu merupakan sebuah kekuatan yang bergerak di bawah sadar bagi kelahiran radikalisme di kalangan kaum periferal.

Sayang, realitas sosiologis yang pahit ini tak pernah disadari jajaran Pemprov DKI Jakarta. Jika hari ini ada penggusuran, besok ada pungutan. Bukan saja Pemprov DKI Jakarta telah bermain api berdasarkan retorika penegakan hukum, lebih dari itu mempermainkan nasib ratusan warga negara beserta sanak keluarganya. Semua ini membuka koridor runtuhnya trust publik terhadap pemerintahan kota sehingga menjadi tak terelakkan jika penggusuran semata dipersepsi publik sebagai proyek.

Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa prakarsa terselenggaranya penggusuran tak pernah dilengkapi solusi-solusi cerdas ke arah penciptaan lapangan kerja serta tak adanya tawaran elegan bagi berlangsungnya transformasi sektor informal menuju sektor formal. Penggusuran PKL benar-benar menjadi panggung untuk sepenuhnya mementaskan opera sabun. Tak lebih, tak kurang.

Seandainya membaca Hatta

Kini kita hanya bisa membuat pengandaian saat harus menyimak opera sabun yang semacam itu. Seandainya para pengambil keputusan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta membaca Bung Hatta, niscaya penggusuran PKL takkan pernah memperlihatkan corak ugal-ugalan sebagaimana berlangsung selama ini. Bahkan penggusuran dianggap tidak relevan untuk tujuan penyelesaian masalah. Sebagai founding father yang ikut berjasa memberikan kontribusi bagi terbentuknya konstitusionalisme kedaulatan rakyat, rumusan Bung Hatta tentang kemakmuran dan keadilan bagi kaum periferal kini penting diperhatikan kembali, terutama dalam kaitan dengan seluruh upaya menemukan jawaban yang mencerahkan mengapa penggusuran terlampau jauh berfungsi sebagai part of problem ketimbang part of solutions.

Sebuah kata kunci yang pernah dikemukakan Bung Hatta berkenaan perbaikan nasib kaum periferal di Indonesia ialah "besarnya beban tanggung jawab pemerintah". Pemerintahan ada justru untuk membebaskan kaum periferal dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan pada tataran ekonomi. Apa yang oleh Bung Hatta disebut "sistem ekonomi kerakyatan" tak lain dan tak bukan adalah memposisikan kaum periferal pada mekanisme pasar berkeadilan. Besarnya beban tanggung jawab pemerintah dalam hal ini terletak pada kemampuannya menempatkan pelaku usaha periferal pada setting yang tepat dalam proses besar transformasi ekonomi, melalui rancang bangun kebijakan yang memiliki muatan amat kuat pada upaya memajukan dan memandirikan kaum periferal di bidang ekonomi.

Dalam perspektif Bung Hatta, pemerintah sebenarnya aktor yang tak henti mengkreasikan tumbuhnya kelembagaan ekonomi serta merestorasi kelembagaan ekonomi untuk tujuan aktualisasi peran dan aspirasi ekonomi kaum periferal. Dengan sendirinya, PKL sebagai sebuah entitas ekonomi justru harus disimak secara saksama potensi-potensi besarnya bagi penciptaan keadilan dan kemakmuran. Bila ternyata entitas ekonomi semacam PKL potensial menggangu ketertiban dan keamanan kota, tugas pemerintah mengarahkan perkembangan PKL sebagai institusi-institusi ekonomi yang tumbuh secara genuine dalam kancah kehidupan masyarakat agar beradaptasi dengan atmosfer persaingan dalam mekanisme pasar berkeadilan.

Sayang, legacy kenegarawanan Bung Hatta di bidang ekonomi ternyata kosong dari perhatian Pemprov DKI Jakarta selama ini. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, dapat dikatakan, jajaran Pemprov DKI Jakarta ternyata tumpul saat diharapkan mampu menafsirkan ulang buah pikir Bung Hatta tentang sistem ekonomi kerakyatan. Yang terjadi justru sebaliknya, dalam situasi aman tanpa penggusuran, PKL difungsikan sebagai ladang eksploitasi oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta.

Maka, politik pemerintahan kota dalam konteks Jakarta bukan saja telah menistakan keharusan adanya transformasi perekonomian dari sektor informal menuju sektor formal, tetapi sekaligus telah mengingkari visi kenegarawanan Bung Hatta. Jujur harus diakui, penggunaan badan jalan oleh PKL telah mengubah kemacetan lalu lintas jalan raya menjadi patologi dengan social cost yang mahal. Namun, jika problem PKL itu disentuh melalui visi kenegarawanan ala Bung Hatta, Pemprov DKI Jakarta justru akan tampil sebagai pahlawan bagi terciptanya kemakmuran sosial ekonomi kaum periferal. Langkah ke arah ini sebenarnya terbuka diwujudkan melalui upaya-upaya social marketing terhadap arti penting pilihan lokasi sentra kegiatan usaha PKL yang semula tak strategis.

Yang dimaksudkan dengan politik pemerintahan kota di sini ialah lahirnya visi humaniter jajaran Pemprov DKI Jakarta saat harus bersentuhan dengan kompleksitas persoalan PKL. Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta didesak kewajiban moral untuk mengembangkan berbagai prakarsa ke arah terciptanya setting yang lebih tepat bagi realisasi potensi kewirausahaan PKL. Namun, kontras dengan itu, politik pemerintahan kota bisa juga berarti kristalisasi pandangan subyektif jajaran Pemprov DKI Jakarta dalam memaknai peran, fungsi, dan kedudukan PKL. Pandangan subyektif inilah yang melandasi terjadinya penggusuran.

Jadi, seluruhnya kini berpulang pada jajaran Pemprov DKI Jakarta sendiri, apakah terus hendak memfungsikan penggusuran sebagai opera sabun atau mulai menafsirkan kembali secara cerdas sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana digagas Bung Hatta. Jika pilihannya masih stagnan pada yang pertama, tak berlebihan jika dikatakan politik pemerintahan kota di Jakarta bercorak antikerakyatan dalam maknanya yang begitu telanjang.

Anwari WMK Peneliti Bidang Filsafat dan Kebudayaan pada The Amien Rais Center, Associate Editor pada Pustaka LP3ES Indonesia
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3306&coid=4&caid=4&gid=1
Teruskan baca - Penggusuran PKL dan Politik Pemerintahan Kota

Penggusuran PKL, Salah Siapa?


Setiap pagi selama hari kerja, saya berangkat mengajar selalu melewati Jl. Gembong dan Kapasari yang merupakan lokasi pasar Pedagang Kaki Lima (PKL) yang khas berjualan barang bekas. Kemacetan dan hiru pikuk ramainya orang bertransaksi selalu saya jumpai dalam perjalan pagi saya ke tempat kerja. Namun, kondisi itu tidak sama lagi ketika tanggal 14 Februari 2008. Hari kasih sayang tersebut menjadi tidak berkasih sayang lagi bagi para PKL di kawasan Gembong. Pasalnya, pada hari itu pemerintah Kota Surabaya dengan bantuan dari pihak TNI dan POLRI memaksa mereka membongkar lapak-lapak (tempat berjualan) para PKL sejak pukul 02.00 dini hari. Alhasil, saya yang biasanya bisa melewati jalan Kapasari harus terpaksa memutar jalur melalui daerah Kapas Krampung dan Kenjeran karena jalan Kapasari dan Gembong ditutup total bagi para pengguna jalan.

Meskipun eksekusi penggusuran berjalan dengan lancar dan tanpa ada perlawanan dari para PKL, namun beberapa PKL dan keluarganya tampak lesu dan bahkan ada beberapa yang mengeluarkan air mata. Di ujung jalan, saya melihat beberapa polisi menjaga jalan agar tidak dilalui oleh pengguna jalan meskipun ada beberapa yang nekat menerobos dan akhirnya harus kembali lagi karena jalan Kapasari saat itu penuh dengan orang dan becak serta gerobak yang sedang membongkar lapak sehingga tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermotor.

Di beberapa sudut trotoar dan lapak yang belum terbongkar, saya melihat beberapa aparat juga sedang melepas lelah dengan cara tidur di kursi panjang warung yang akan dibongkar. Mungkin para aparat tersebut juga dilanda kelelahan yang sangat mengingat mereka harus berjaga sejak pukul 02.00 dini hari.

Permasalahan PKL di negara berkembang, salah siapa?

Proses penggusuran tersebut menuai berbagai pro dan kontra. Dari pihak PKL dan keluarganya serta aktivis LSM peduli PKL menganggap bahwa tindakan pemerintah tersebut semena-mena karena tidak memperdulikan hati nurani serta tidak adanya ganti rugi bagi para PKL yang tergusur. Padahal, banyak PKL yang ada di sana sudah menempati lahan di bahu jalan tersebut sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan sudah ada pedagang yang menempati tempat jualannya sejak 4 generasi yang lalu. Selain itu, proses penggusuran tersebut terkesan mendadak karena masih baru beberapa hari yang lalu para pedagang dianjurkan untuk pindah.

Kemudian, pihak pemerintah dan masyarakat khususnya para penduduk di jalan tersebut serta para pengguna jalan menilai langkah pemerintah sudah tepat. Hal ini mengingat bahwa jalan tersebut memang memiliki fungsi sebagai sarana transportasi dan bukannya sarana pasar. Selain itu, para pemilik lahan pertokoan yang berada di balik lokasi PKL tersebut sudah merasa membayar pajak tetapi tidak bisa memanfaatkan tempat tinggalnya untuk kegiatan usaha karena tertutup oleh para PKL yang berdagang di bahu jalan.

Lantas, muncul pertanyaan “siapakah yang benar? siapakah yang salah?”. Permasalahan PKL memang menjadi perhatian yang serius, khususnya bagi pemerintah di negara berkembang. Katakanlah Indonesia, di beberapa kotanya selalu saja menghadapi masalah yang sama dari para PKL yaitu ketidak-sediaan para PKL dipindah, proses Relokasi yang rumit, PKL yang kumat berjualan lagi di tempat yang sama, bahkan sampai pada adanya tindakan anarkis yang menuntut kembali PKL berjualan di tempat yang sama.

Kerumitan masalah ini sebenarnya terletak pada masalah struktural ekonomi yang asimetris. Dimana masyarakat sebagai pelaku ekonomi merasa tidak mendapatkan porsi yang jelas dari kegiatan ekonominya. Kondisi ini diperparah dengan semakin minimnya lapangan kerja di berbagai sektor. Alhasil, wirausaha dengan modal kecil adalah salah satu solusi yang digunakan oleh masyarakat. Kondisi tersebut terlambat ditangani oleh pemerintah, sehingga selama beberapa tahun masyarakat yang mengambil jalan pintas (baca: tidak prosedural) dalam berusaha akhirnya membenarkan tindakan yang dilakukannya. Dan, pada akhirnya mereka merasa bahwa eksistensi mereka melakukan kegiatan ekonomi di pinggir jalan dianggap sebagai sebuah kelumrahan yang wajar.

Lantas salah siapakah kondisi seperti ini sekarang? Yang jelas adalah salah kita bersama. Pihak pemerintah, PKL, masyarakat yang ada, termasuk saya sendiri adalah pihak yang salah. Kenapa? karena jelas-jelas kita tahu itu salah, kenapa kita diamkan saja? Seharusnya pemerintah sebagai stakeholder dalam pengelolaan kota bisa tanggap dan mampu mengantisipasi masalah ini sejak dini, sehingga tidak menjadi kebiasaan. Para PKL seharusnya juga sadar, bahwa dengan mereka berjualan di pinggir jalan, pasti akan mengakibatkan kemacetan dan penggunaan fungsi jalan yang tidak seharusnya. Bagi masyarakat, seharusnya bisa menjadi agent of change dari setiap tindakan yang tidak seharusnya sehingga norma dan nilai yang berkembang di masyarakat dapat memberikan sangsi, minimal secara psikologis, bagi masyarakat lain yang melakukan pelanggaran atas fungsi publik.

Semoga saja pemerintah bisa menangani masalah ini tanpa harus menciptakan masalah baru lagi. Dan, sudah siapkah kita memiliki kesadaran sebagai agent of change di lingkungan sekitar kita?

Sumber Tulisan :http://widytaurus.wordpress.com/2008/02/15/penggusuran-pkl-salah-siapa/
Teruskan baca - Penggusuran PKL, Salah Siapa?

KEBIJAKAN SOSIAL DALAM MENANGGULANGI MASALAH KEMISKINAN

Pendahuluan

Dalam suatu Negara, ada yang biasa disebut dengan kebijakan sosial. Kebijakan sosial ini menyangkut pada segala sisi dan aspek dari pemerintahan. Baik itu di bidang ekonomi, politik, hukum, pembangunan, dan lain-lain. Adanya kebijakan sosial ini tak lain adalah agar dapat memajukan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu Negara.

Oleh karena pentingnya dalam kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial yang berkaitan sebagai pekerja sosial, kami dari kelompok terakhir mengangkat tema “ Kebijakan Sosial “. Mungkin banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami harap dapat di maklumi. Semoga dapat bermanfaat bagi kawan-kawan yang lain.

Pengertian kebijakan sosial

Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.[1]

Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian.[2]

Definisi kebijakan social (social policy) menurut Oxford English Dictionary, adalah suatu cara pengambilan tindakan dalam melanjutkan proses pemerintahan, ke-partaian, kekuasaan, kepemimpinan Negara, dan lain-lain ; arah dalam pengambilan suatu tindakan itu haruslah menguntungkan atau sesuai.[3]

Schorr dan Baumheir, menggunakan definisi kebijakan sosial yaitu suatu prinsip dan cara melakukan suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran dengan individu dan juga menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan intervensi (keterlibatan) dari peraturan yang berbeda dengan sistem sosial. Menetapkan suatu kebijakan sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana proses penerapannya dalam menghadapi suatu fenomena sosial, hubungan sosial pemerintah dalam mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat.[4]

Definisi lain dari kebijakan sosial adalah suatu kondisi di atas level pengembangan dalam suatu kelompok, baik itu tradisi, kebudayaan, orientasi ideology, dan kapasitas teknologi.[5]

Bruce. S Jansson mendefinisikan kebijakan sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah yang menyangkut keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan, dan guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial.[6]

Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial. (Conyers 1992).[7]

Garis besar aspek kebijakan sosial

Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan objek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Peran pekerja sosial dalam menghadapi fenomena perkembangan suatu Negara sangat diperlukan dan peran serta aktif pula dalam bekerjasama dengan instansi kepemerintahan yang memang memiliki otoritas dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan.

Seperti yang terdapat dalam definisi diatas, kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di suatu Negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang sangat dibutuhkan kontribusinya dapat pula berfungsi dengan berperan serta aktif ikut menentukan dan membuat perancangan kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam lingkup lokal melainkan dalam matra global. Pekerja sosial haruslah aktif dalam merespon situasi perubahan dan perkembangan kondisi global, sehingga dapat bersama dengan pemerintah melakukan rancangan yang efektif dalam mensejahterakan masyarakat.

Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini. (Suharto, 1997).[8]

Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi :

1. melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah
2. melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu Negara demokrasi.
3. meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilkukan oleh para pekerja sosial
4. memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya misalkan LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain.[9]

Sehingga kesimpulan ringkas yang dapat kita ambil dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial, disini pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya hal ini disebabkan karena masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Sehingga tingkat pelanggaran yang nantinya akan terjadi dapat terdeteksi dan transparan.

Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing, kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas. Penjelasan ini menurut pembagian Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy,from theory to practice diantaranya:

1. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan

1. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi
2. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan.[10]

Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, diantaranya ialah :

1. mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat

2. menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan.[11]

Adanya aspek yang tertera diatas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dan semua perangkatnya haruslah memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik.

Lantas bagaimana nantinya pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disuun dan diterapkan? Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3 (langkah) yang bila hal tersebut berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut anatara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of Social Policy adalah :

1. mereka (pemerintah) membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh : pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru.
2. pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki perhatian terhadap suatu kondisi sosial. Contoh : kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi perdagangan atau mengundang investor dari Negara lain lalu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain.
3. kebijakan sosial pemerintah yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan terfokus pada salah satu grup tetapi pada kenyataanya justru mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain.[12]

Kemiskinan sebagai objek sasaran kebijakan sosial

Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang seringkali ditemukan dibeberapa Negara yang sedang proses berkembang atau bahkan terkadang dapat pula ditemukan di Negara maju, biasanya permasalahan di Negara maju kemiskinan lebih sering terjadi pada para imigran.

Sebagai masalah yang menjadi isu global disetiap Negara berkembang. Wacana kemiskinan dan pemberantasannya haruslah menjadi agenda wajib bagi para pemerintah dan pemimpin Negara. Peran serta pekerja sosial dalam menangani permasalahan kemiskinan sangat diperlukan, terlebih dalam memberikan masukkan (input) dan melakukan perencanaan strategis (strategic planning) tentang apa yang akan menjadi suatu kebijakan dari pemerintah.

Sebelum mengetahuinya lebih dalam, perlu diketahui penyebab kemiskinan yang secara tidak langsung menjadi standar global :

1. kemiskinan kebudayaan, hal ini biasanya terjadi disebabkan karena adanya kesalahan pada subyeknya. Misalnya : malas, tidak percaya diri, gengsi, tak memiliki jiwa wirausaha yang kompatibel, tidak mempunyai kemampuan dan keahlian, dan sebagainya.
2. kemiskinan structural, hal ini biasanya terjadi karena disebabkan oleh factor eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan. Faktor eksternal itu biasanya disebabkan kinerja dari pemerintah diantaranya : pemerintah yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan sebagainya.

Isbandi Rukminto Adi, Phd menegaskan pula tentang akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan dan membaginya menjadi beberapa dimensi, diantaranya:

1. Dimensi Mikro : mentalitas materialistic dan ingin serba cepat ( instan )
2. Dimensi Mezzo : melemahnya social trust ( kepercayaan social ) dalam suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu sendiri
3. Dimensi Makro : kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia
4. Dimensi Global : adanya ketidakseimbangan relasi antara Negara yang sudah berkembang dengan Negara yang sedang berkembang.[13]

Departemen Sosial sebagai instansi yang membawahi sacara langsung masalah kemiskinan tidak pernah absent dalam mengkajinya termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan sosial –yang dikenal dengan PROKESOS- yang dilaksanakan baik secara intra-departemen maupun antar-departemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral. Dalam garis besar, pendekatan Depsos dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh persepektif pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial ( S1, S2,dan S3 ).[14]

Startegi penanggulangan kemiskinan[15]

Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan social terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip in dikenal dengan pendekatan “person in environment dan person in situation”.

Seperti yang telah dijelaskan diatas Depsos sebagai suatu instansi memiliki pula beberapa agenda yang memang merupakan disiapkan untuk menekan angka kemiskinan, diantara program kerja Depsos yang telah terealisasi yang menurut Edi Suharto, Phd adalah strategi pendekatan pertama yaitu pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi :

1. pemberian pelayanan dan rehabilitasi social yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial
2. program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial
3. bekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan swadaya dan pemberdayaan usaha miro, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan, dan lain-lain

Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam beberapa strategi, diantaranya :

1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE (kelompok usaha bersama)

Penutup

Masalah kebijakan sosial adalah suatu permasalahan yang membutuhkan penanganan khusus, terpadu dan dilakukan secara kontinu dan konsekuen. Sebagian besar Negara berkembang selalu memperhatikan aspek kebijakan sosial sebagai program andalan yang dapat menjadi perencanaan untuk melakukan kesejahteraan sosial.

Telebih lagi adanya kebijakan sosial tak bisa lepas dari pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan lembaga pembuat kebijakan. Peranan yang harus menjadi tanggungjawab berbagai pihak dalam menyusun dan melakukan perencanaan se-strategis mungkin demi tercapainya kesejahteraan sosial, dan aspek-aspek yang menjadi hambatannya.
***
Oleh : Rizki Aji Hertantyo*http://adjhee.wordpress.com/2007/12/12/kebijakan-sosial-dalam-menanggulangi-masalah-kemiskinan/

Daftar pustaka

1. National Association of Social Worker. Encyclopedia Of Social Work, Vol II. National Association of Social Worker. Inc. USA : 1971.
2. James Midgley, etc. The Handbook of Social Policy.
3. Bruce.S Jansson. Social Policy, from theory to policy practice, second edition. Brooks / Cole Publishing Company. California : 1994.
4. Robert Morris. Social Policy of The American Welfare State. Harper & Row Publisher. USA : 1979.
5. Oxford English Dictionary, compact edition. New York : Oxford University Press. 1971.
6. Isbandi Rukminto Adi. Phd, “ Kemiskinan Multidimensional “ pada acara yang diselenggarakan BEM-J PMI dengan tema ‘Mencari Paradigma Baru Kebijakan Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial’. Gd. Teater Fakultas Dakwah & Komunikasi. UIN Jakarta, 28 Desember 2005.
7. Edi Suharto. Phd. Konsep Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya. http://www.policy.hu/suharto/makIndo13.html
8. Edi Suharto, Phd. Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/makIndo21.html.
9. Edi Suharto, Phd . Pendekatan Pekerja Sosial dalam Menangani Kemiskinan di Tanah Air. http://www.policy.hu/suharto/makIndo27.html.
Teruskan baca - KEBIJAKAN SOSIAL DALAM MENANGGULANGI MASALAH KEMISKINAN

Memperjuangkan Askeskin


Hampir tiga tahun sudah gempa dan tsunami berlalu, pembangunan disegala bidang terus dilakukan di Aceh.Ironisnya, di balik gempita pembangunan masih banyak masyarakat miskin yang belum sepenuhnya merasakan adanya perubahan, khususnya pelayanan di bidang kesehatan. ProgramAsuransi Kesehatan Miskin (Askeskin) yang digembar-gemborkan pemerintah ternyata belum dirasakan oleh rakyat miskin di Aceh.

Rendahnya akses rakyat miskinakan hak untuk mendapatkan pengobatan tampaknya perlu mendapatkanperhatian secara serius dan dikawaloleh masyarakat sipil. Tujuannya agar semua proses dilakukandapatdipastikan sesuai dengan kebijakan yang berlaku dan melibatkan partisipasi masyarakat. Penguatan organisasi masyarakat sipil diperlukan agar mereka dapat berperan aktif dalam usaha meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat miskin di Aceh, khususnya peserta askeskin.

Keterlibatan masyarakat (civic engagement) dalam proses perencanaan, pembahasan dan pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban diyakini dapat mengurangi penyimpangan yang sering terjadi dalam proses pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Penyimpangan paling utama dari program yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah belum menyentuh dan belum bisa dinikmati secara maksimal oleh masyarakat miskin. Selain itu program ini juga seringkali tidak tepat sasaran dalam realisasi dilapangan.

Rendahnya kualitas pelayanan publik yang terjadi di kabupaten Pidie dapat dilihat dari terbatasnya sarana pelayanan; perilaku petugas yang belum bersifat melayani; tidak jelasnya waktu dan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan suatu pelayanan; tidak adanya sosialisasi terhadap penggunaan kartu ASKESKIN.

Akibat kualitas pelayanan yang rendah tersebut masyarakat miskin merasa jenuh dan mulai kehilangan rasa percaya kepada program pemberi layanan kesehatan dari pemerintah tersebut.

Keluhan atas pelayanan ini sayangnya tidak dibarengi dengan mekanisme yang jelas bagi rakyat untuk melaporkan semua ketidak puasan tersebut. Rakyat tidak tahu harus melapor kemana.

Sampai saat ini masih banyak rakyat miskin yang belum mendapatkan kartu askeskin, sehingga mereka sulit untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan pada BPK RSU ditingkat Kabupaten maupun Propinsi.

Di Pidie, program pelayanan kesehatan bagi masyarakat dirasakan belum maksimal. Problem pelayanan kesehatan ini merasa perlu di advokasi oleh PASKA Pidie, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang giat melakukan advokasi kesehatan yang dikenal dengan program ANCORS (Acehness Civil Organisation Straighten). Paska juga memberikan pendampingan bagi rakyat miskin untuk memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.

Program advokasi kesehatan untuk rakyat miskin tersebut dijalankan dengan bekerjasama dengan ADF dan YAPPIKA. Contoh pendampingan yang dilakukan terhadap salah satu peserta Askeskin penderita sakit jantung ke RSCM Jakarta. Pasien yang bernama Ibu Ainsyah (35 Th) adalah warga Geudong Reubee Kecamatan Delima Kabupaten Pidie. Pendampingan dilakukan dari tingkat Kabupaten (RSU Sigli), ditingkat Propinsi (RSU-ZA dan PT.ASKES), dan sampai dengan pendampingan ke RSCM Jakarta guna mendapatkan penanganan lanjut (bedah jantung).

Dari proses pendampingan ini di dapat sebuah pembelajaran bahwa pemerintah yang bertanggungjawab dalam program askeskin belum menjalankan fungsinya secara optimal. Dalam kasus di Kabupaten Pidie dapat dibuktikan bahwa rakyat miskin masih belum terjangkau oleh pelayanan Askeskin yang berkualitas, murah dan cepat.



Oleh: Firman Munandar Aktivis Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh
(PASKA) Pidie
http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=70
Teruskan baca - Memperjuangkan Askeskin

Pesona Diskriminasi dalam RUU Pelayanan Publik


Pembahasan RUU Pelayanan Publik (Yanlik) memasuki babak baru pada tingkat Panja. Pada tanggal 19 Juni lalu, Panja Yanlik membahas pasal mengenai aspek pelayanan khusus sebagai salah satu aspek dalam pelayanan publik.

Muncul pertanyaan, apakah dalam implementasinya nanti tidak akan membuka ruang komersialisasi pelayanan publik? Apakah pelayanan khusus ini dapat memberikan jaminan pelayanan optimal pula bagi pelayanan yang tidak dikategorikan sebagai pelayanan khusus? Bukankah diferensiasi bentuk pelayanan ini adalah sebuah bentuk diskriminasi sosial masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut dapat secara otomotis timbul jika kemudian kita membaca klausul pelayanan khusus dalam RUU Yanlik usulan pemerintah. Dalam Pasal 28 DIM no. 181 RUU Pelayanan Publik menyatakan, “Penyelenggara dapat menyediakan pelayanan kelas-kelas tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelayanan”. Klausul ini tentu sebagai salah satu pintu akomodasi bentuk-bentuk pelayanan yang secara fakta lapangan memang dipraktekan di masyarakat luas. Namun, apakah bijaksana mengadakan pelayanan khusus pada pelayanan publik yang semangatnya menegasikan diskriminasi dan mendorong pelayanan yang adil dan berkualitas pada setiap golongan?

Dalam pembahasannya, fraksi Partai Golkar dan Demokrat secara tegas mengusulkan pasal ini harus dihapuskan karena diksi “kelas-kelas tertentu” tidak jelas maknanya dan bertentangan dengan prinsip yang ingin dikandung dalam UU Yanlik ini, yaitu kesamaan hak. Sedangkan fraksi Kebangkitan Bangsa cenderung mencoba mengeliminasi peluang pelayanan diskriminatif dengan mengadopsi pelayanan khusus yang dilaksanakan secara transaparan dan akuntabel. Sementara fraksi lain meskipun tidak mengusulkan pengubahan DIM, memahami kekhawatiran peluang diskriminasi dan komersialisasi pelayanan pada pelayanan khusus ini.

Proses dialektika pun berlanjut, antara mengakomodasi pelayanan khusus dengan menyamaratakan bentuk pelayanan tanpa memandang aspek golongan. Hingga dalam sebuah kesempatan pimpinan sidang Panja, Sayuti Asyathri dari F-PAN sempat berseloroh bahwa pembahasan ini menjadi bentuk pertentangan dua ideologi, ideologi pro-pasar serta ideologi ekonomi kerakyatan.

Patut diwaspadai bahwa diaturnya pelayanan khusus dalam RUU Yanlik adalah tidak untuk membuka peluang terjadinya komersialisasi pelayanan publik yang sedianya dapat diakses oleh setiap golongan dan kelompok masyarakat, yang berarti pula membuka peluang diskriminasi pelayanan pada masyarakat. Komersialisasi itu misalkan dalam bentuk kuota pelayanan khusus yang lebih besar dibandingkan pelayanan umum demi mengeruk keuntungan sebesar mungkin. Sedangkan diskriminasi pelayanan dapat terjadi pada bentuk pembedaan kualitas pelayanan antara pelayanan umum dengan pelayanan khusus.

Disinilah kemudian letak urgensi piagam warga dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pengawasan dan partisipasi aktif dalam menentukan bentuk, mekanisme, hingga biaya pelayanan yang sesuai dengan karakteristik mereka sendiri. Piagam warga dan SPM sebagai titik tolak penyusunan pelayanan publik menjadi filter utama dalam menghindari praktek komersialisasi dan diskriminasi pada pelayanan publik dengan pelayanan khususnya. Dengan piagam warga masyarakat mungkin saja mempersilahkan penyelenggara pelayanan publik untuk mengadakan pelayanan khusus, namun pada akhirnya akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai pengguna pelayanan dalam menentukan kuota, kualitas, bentuk, dan sebagainya dari pelayanan khusus ini.

Catatan-catatan yang disepakati anggota Panja Pelayanan Publik atas klausul pelayanan khusus juga harus diapresiasi. Seperti keinginan untuk menghindari nuansa diskriminasi dengan penggunaan diksi “kelas-kelas” dan menggantinya dengan istilah yang lebih halus seperti jenjang atau fasilitas adalah kemajuan atas pembahasan RUU yang telah dinanti masyarakat luas sejak lama. Kemudian substansi usul F-KB yang memasukkan pembatasan atas pelayanan khusus yaitu transparansi dan akuntabilitas dapat memperkuat pondasi batasan usul RUU dari pemerintah yang berupa peraturan perundang-undangan dan standar pelayanan.

Progress signifikan pembahasan pada tingkat Panja membuat asa akan terbentuknya UU Pelayanan Publik yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat awam, kelompok minoritas, dan masyarakat rentan senantiasa terpupuk. Tentu hal ini harus selalu diimbangi dengan proses pemantauan dan lobi yang intense dari segenap tim MP3.

Oleh Arif Rahmadi (relawan pemantau pembahasan RUU Pelayanan Publik)
http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=130&Itemid=70
Teruskan baca - Pesona Diskriminasi dalam RUU Pelayanan Publik

Krisis Pangan dan Otonomi Daerah


Ancaman dan dampak krisis pangan dunia yang gejalanya muncul sejak awal 2008 tampaknya belum akan segera berakhir. Bahkan kemungkinan penurunan produksi akan terjadi di beberapa bulan mendatang di beberapa negara karena dampak kekeringan lahan-lahan pertanian.

Respons internasional terhadap krisis pangan dunia antara lain dilakukan melalui UN-FAO Food Summit bulan Juni 2008, di Roma. Para delegasi dari 181 negara telah membahas berbagai dampak krisis pangan serta strategi solusinya.

Secara garis besar, direkomendasikan tiga solusi untuk mengatasi krisis pangan, yaitu meluncurkan berbagai strategi untuk mendorong peningkatan produksi pangan, pengurangan hambatan dan pembatasan perdagangan pangan internasional serta mendorong kajian yang mendalam terkait bioenergi yang dipandang juga menjadi salah satu pemicu krisis pangan.



Pertanian dan otonomi

Dalam konteks Indonesia, situasi krisis pangan memiliki kaitan erat dengan implementasi otonomi daerah. Seiring dengan gerakan reformasi, pemerintah pusat telah mengimplementasikan kebijakan otonomi pada berbagai aspek sejak tahun 2001. Otoritas dan kebijakan pembangunan pertanian juga telah didelegasikan kepada pemerintah daerah utamanya pada tingkat kabupaten atau kota.

Pelimpahan wewenang mestinya dapat meningkatkan kinerja pembangunan pertanian daerah sesuai dengan potensi dan kapasitas lokal. Dengan dukungan anggaran yang besar, pemerintah lokal memiliki kebebasan untuk mengembangkan kebijakan dan teknologi lokal melalui kajian di lembaga penelitian lokalnya.

Efektivitas otonomi bidang pertanian masih diperdebatkan beberapa kalangan. Di satu sisi ada peluang munculnya inisiatif dan pemberdayaan sumber daya lokal. Namun di sisi yang lain, ada ancaman inkonsistensi dari birokrasi dan legislator daerah terhadap arti penting pembangunan pertanian.

Pembangunan pertanian dianggap oleh sebagian birokrasi dan legislator lokal sebagai bidang yang cost-center yang membutuhkan investasi besar namun return-nya cukup lama. Hal ini yang menyebabkan mengapa isu pentingnya pembangunan pertanian kurang menarik perhatian bagi sebagian besar pembuat kebijakan daerah.

Kepala daerah dan anggota DPR yang dipilih dalam periode lima tahun, dalam beberapa kasus akan lebih tertarik dan berkonsentrasi mengurusi bidang yang memiliki return tinggi dan lebih cepat seperti industri, pertambangan, eksploitasi hutan atau pariwisata. Pembangunan pertanian di beberapa daerah menjadi terpinggirkan.

Meskipun masih perlu didukung dengan data-data empiris, kecenderungan umum menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah kurang pro terhadap kegiatan yang terkait dengan pembangunan pertanian.

Kecenderungan penurunan aktivitas pembangunan pertanian antara lain disebabkan (1) perbedaan persepsi antara daerah dan pusat serta antara eksekutif dan legislatif lokal tentang peranan pembangunan pertanian, yang memperbesar variasi yang mencolok dalam kebijakan pertanian, (2) rendahnya prioritas dan alokasi anggaran untuk pembangunan pertanian (3) ketersediaan informasi pertanian sangat terbatas, (4) penurunan kapasitas dan kemampuan manajerial dari penyuluh pertanian serta (5) penyuluh pertanian kurang aktif untuk mengunjungi petani, kunjungan lebih banyak dikaitkan dengan keproyekan.

Rendahnya perhatian terhadap pertanian di daerah misalnya dalam hal kelembagaan penyuluhan. Banyak kasus dibubarkannya lembaga khusus yang melayani penyuluhan pertanian di kabupaten. Sebagian kecil tidak berubah, sebagian berganti kelembagaan dengan kewenangan yang lebih sempit, sebagian bergabung menjadi tenaga fungsional di dinas pertanian dan sebagian belum jelas posisinya.

Beberapa penyuluh pertanian lapangan dialihfungsikan menjadi staf struktural bahkan dipindah ke dinas yang tidak terkait dengan pertanian. Pembangunan pertanian dan sistem penyuluhan pertanian yang tidak efektif berdampak pada ketidakmampuan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga ketahanan pangan.

Mengembalikan ide sentralisasi pembangunan pertanian seperti pada masa revolusi hijau tampaknya juga bukan pilihan yang tepat karena membatasi partisipasi dan inisiatif lokal, bagaimanapun perlu upaya yang sistematis dan serius supaya otonomi daerah juga memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pertanian.

Perlu perubahan mindset dari birokrasi lokal, perlu terus didorong sehingga mereka menjadi lebih pro terhadap kebijakan pertanian. Program yang perlu dikembangkan antara lain pendidikan arti penting pembangunan pertanian, baik terhadap birokrat, politisi, maupun legislatif yang memiliki otoritas membuat kebijakan terakit pembangunan.



Kebangkitan pertanian

Kondisi krisis pangan mestinya membuka kesadaran semua pihak bahwa pertanian dan pangan adalah bidang yang sangat strategis dan sangat penting. Industri dan sektor lain akan lumpuh tatkala tidak ada jaminan pasokan dan ketersediaan pangan yang cukup.

Dalam konteks nasional, krisis pangan bisa dijadikan langkah awal untuk membangkitkan pertanian yang sejak tahun 1980-an terpinggirkan dalam perpolitikan dan kebijakan nasional. Saatnya untuk mewujudkan kebijakan yang berpihak dan menggairahkan petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraan keluarganya.

Pelaksanaan otonomi daerah yang secara teori sangat berpotensi memberdayakan inisiatif lokal mestinya lebih berpihak pada petani dan warga pedesaan sehingga program-program pendukung kebangkitan petani perlu mendapat prioritas dan perlu segera diwujudkan.

Pertanian yang telah terbukti memberikan lapangan kerja, menghasilkan pangan, mendatangkan devisa serta menjaga kelestarian lingkungan; perlu mendapat perhatian yang layak dan konsisten.

Perubahan mindset perencana dan penentu kebijakan di pusat dan daerah menjadi kebutuhan mendesak. Kini saatnya untuk membuktikan bahwa otonomi daerah memang berpihak pada klien-masyarakat lokal, berfungsi-guna dan efektif mendukung pembangunan pertanian dan mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Oleh: Subejo
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=10595&coid=3&caid=31
Teruskan baca - Krisis Pangan dan Otonomi Daerah

DESENTRALISASI DAN DEMOKRASI LOKAL

Demokrasi secara etimologi berasal dari gabungan dua kata bahasa yunani kuno, yakni Demos (Rakyat) dan Kratos (pemerintah) atau dalam bahasa ringkasnya ”Pemerintahan Oleh Rakyat”. Dan arti dari Desentralisasi (politik, administratif dan fiskal) adalah penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumberdaya, keuangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Desentralisasi atau Otonomi Daerah juga berarti membawa negara lebih dekat pada rakyat / masyarakat sipil (Axel Hadenius, 2003). Kedekatan ini bukan semata berarti karena ada kantor pemerintah (eksekutif) yang dekat dengan rakyat, bukan pula karena pemimpin lokal dipilih oleh rakyat setempat. dekat, di satu sisi, berarti pemerintah daerah mempunyai transparansi, akuntabilitas dan responsivitas dalam pengelolaan kebijakan dan anggaran daerah. Di sisi lain dekat juga berarti bahwa rakyat mempunyai akses politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan atau akses partisipasi.

Dengan kalimat lain, pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia mempunyai “tanggung jawab” mengurus barang-barang publik untuk dan kepada rakyat / masyarakat sipil. Secara teoretis tujuan antara desentralisasi (otonomi daerah) adalah menciptakan pemerintahan yang efektif-efisien, good governance, dan membangun demokrasi tingkat lokal. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah membuat rakyat “berotak cerdas”, “berbadan sehat” dan “berkantong tebal”. Ketiganya itu merupakan indikator utama kesejahteraan rakyat. Di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah telah berjalan sejak 1999, setelah daerah menunggu dan menuntut otonomi dan keadilan selama beberapa dekade.

Selama tujuh tahun terakhir daerah menikmati bulan madu otonomi daerah, yakni bergulat dengan keleluasaan daerah, keragaman lokal dan “pesta” demokrasi tingkat lokal. Daerah terus-menerus sibuk melakukan penataan kelembagaan secara internal, sekaligus bertempur dengan pusat yang mereka nilai tidak rela menjalankan otonomi daerah. Pada saat yang sama pemerintah daerah menghadapi harapan dan tuntutan masyarakat yang melambung cukup tinggi. Di tempat lain kalangan aktivis dan organisasi masyarakat sipil menyambut otonomi daerah dengan cara berbicara tentang demokrasi tingkat lokal, transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat dan pemberdayaan rakyat. Mereka terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap buruknya penyelenggaraan otonomi daerah.

Tetapi pada saat yang sama, publik bahkan orang awam terus bertanya (jika tidak bisa disebut kecewa) apa relevansi otonomi daerah dan demokrasi tingkat lokal bagi kesejahteraan rakyat. Desentralisasi dan Kesejahteraan Pertanyaannya, bagaimana desentralisasi membuat kesejahteraan.........? Bagaimana “tujuan antara” mencapai “tujuan akhir” desentralisasi, atau bagaimana “janji politik” menciptakan “janji kebijakan” untuk kesejahteraan? Serangkaian pertanyaan ini tentu mudah dijawab dengan skema teori. Dalam pandangan saya, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, membutuhkan lima kapasitas antara lain : Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya (tepatnya uang), misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Dana yang diperoleh dari ekstraksi ini dikelola dengan mekanisme planning dan budgeting system untuk digunakan membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik.

Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan & peraturan yang digunakan untuk ”mengatur” dan ”mengurus barang-barang publik dan warga. Regulasi juga dibutuhkan untuk memberikan perlindungan (proteksi) terhadap warga, termasuk kelompok-kelompok yang lemah, marginal dan miskin. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar peran-peran lain berjalan secara efektif dan profesional. Peran konsumsi tentu tidak bisa dihindari. Agar profesional dan efektif, birokrasi membutuhkan konsumsi biaya yang besar. Tetapi peran konsumsi bisa menimbulkan jebakan yang membuat birokrasi menjadi lembab. Kalau formasi birokrasi terlalu besar, sementara kapasitas mereka lemah, maka akan peran konsumsi akan terlalu besar dan tidak efisien. Atau membuat birokrasi lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan. Inilah yang disebut negara untuk negara (state qua state). Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GNP, GDP dan PDRB) dan membuka lapangan kerja bagi warga.

Peran investasi tidak melulu sebatas pengembangan BUMN untuk menguasai sektor-sektor ekonomi, tetapi pemerintah, sebagai representasi negara, dapat menggandeng swasta (sektor kedua) untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus memfasilitasi elemen-elemen masyarakat lokal dalam menggerakkan ekonomi rakyat untuk menciptakan pemerataan. Dengan APBD, pemerintah daerah dapat melakukan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan pengembangan ekonomi lokal. Pertumbuhan dan pemerataan itu merupakan dua skema untuk membangun kemakmuran. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga. Pelayanan publik yang paling dasar adalah pendidikan dan kesehatan, termasuk juga pengurangan kemiskinan. Demikianlah promosi kesejahteraan bila dilihat dari sisi peran dan kapasitas negara. Jika dilihat dari perspektif governance, desentralisasi menyajikan janji perbaikan pelayanan publik dan pengurangan kemiskinan. Desentralisasi memperbaiki governance dan penyelenggaraan pelayanan publik dengan meningkatkan:

(a) Efisiensi alokasi (allocative efficiency) melalui penyesuaian secara lebih baik pelayanan publik terhadap preferensi lokal dan (b) efisiensi produksi (productive efficiency) melalui peningkatan akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal kepada warga negara, birokrasi yang lebih ramping, dan pengetahuan yang lebih baik tentang local costs (Bank Dunia, 2001). Keduanya bisa dicapai antara lain melalui beberapa saluran. Pertama, mekanisme partisipasi warga (voice, akses dan kontrol) warga terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan anggaran. Kedua, rencana pengelolaan sektor publik dan anggaran daerah yang meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas, misalnya kebijakan kepegawaian yang berbasis-manfaat, program-program aksi yang konkret, serta peraturan maupun perencanaan yang meningkatkan akuntabilitas dan membatasi korupsi. Pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif, sekaligus partisipasi rakyat, merupakan dua kata kunci desentralisasi yang memungkinkan terjadinya proses pengurangan kemiskinan, termasuk agenda promosi kesejahteraan rakyat.

Namun selalu muncul pertanyaan apakah partisipasi lokal dalam sistem pelayanan dan barang publik tata pemerintahan akan benar-benar mempunyai sebuah pengaruh positif pada kaum miskin? Partisipasi, agar bisa berjalan, memerlukan pertama, pendidikan minimum, kemampuan dasar, akses informasi dan persamaan berdasarkan jender. Kedua, pemberdayaan rakyat pada tingkat lokal. Seringkali, prasyarat ini tidak diberikan. Elite lokal sering mempunyai akses langsung terhadap dan pengaruh atas para pejabat lokal, dan menolak sharing kekuasaan dalam kebijakan partisipasi dan desentralisasi (Narayan et al., 2000). Jika masyarakat dan negara tidak dapat mempengaruhi atau mengendalikan tindakan dan kekuasaan kepemimpinan lokal, maka ini seringkali mengarah pada investasi yang menguntungkan kepentingan elite dan investasi yang rendah dalam pelayanan dan barang publik bagi rakyat miskin.

Ada juga fakta bahwa pada banyak setting, manfaat kebijakan sosial justru diserobot oleh elite lokal (local captured) (Bardhan, 1999, Galasso dan Ravallion, 2000). Karena itu Mahal et al. (2000) menekankan bahwa desentralisasi dan demokratisasi yang meningkat pada tingkat lokal akan mempengaruhi secara positif terhadap pengurangan kemiskinan jika keadaan sosial ekonomi, organisasi masyarakat sipil, kapasitas birokrasi dan local capture oleh kelompok elite dapat dikendalikan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat itulah yang menjadi cita-cita besar membawa negara lebih dekat pada rakyat

Penulis:Rachmat Hidayat,ST
http://www.kotaprabumulih.go.id/?act=artikel_detil&id=60
Teruskan baca - DESENTRALISASI DAN DEMOKRASI LOKAL

Otonomi Daerah dan Perut yang Kosong


Di suatu siang yang menjemukan, kami terlibat diskusi yang dengan seorang dosen yang pemikirannya tidak pernah menjemukan. Penyandang gelar profesor itu bertanya kepada seisi kelas kami, “Apakah menurut kalian pembangunan sosial sudah berjalan di Indonesia?” Ada seribu jawaban di sana. Ada seribu bantahan mengiringinya. Sampai pada satu titik, kami mendiskusikan mengenai otonomi daerah, yang saat ini menjadi arah pembangunan di negeri ini. Otonomi daerah bukan saja dibicarakan secara hangat oleh pembuat kebijakan, tapi juga dicatat oleh kamera wartawan yang meliput kerusuhan di daerah-daerah karena ketidakpuasan hasil Pilkada.

Dari salah seorang staf pemerintahan, saya mendengar bahwa biaya untuk menyelenggarakan Pilkada Jawa Timur adalah sebesar 900 milyar rupiah. Jumlah yang cukup fantastis. Biaya yang dikeluarkan ini hanya salah satu gambaran biaya yang ada di satu provinsi. Biaya yang ada di depan mata lainnya adalah biaya pemekaran provinsi atau kabupaten/kotamadya. Pemekaran sebuah provinsi atau kotamadya memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara sederhana saja : Berapa uang yang harus keluar untuk membentuk kantor pemerintahan daerah beserta dinas-dinasnya sekaligus untuk menggaji semua stafnya. Tidak sedikit.

Tapi, kebanyakan dari berita otonomi daerah yang nampak di televisi tidak menggembirakan. Kerusuhan, ketidakpuasan, bahkan kemiskinan masih menjerat warga yang daerahnya sudah diotonomikan. Kalau dilihat lebih jauh pun, pendapatan asli daerah (PAD) tidak bisa sepenuhnya menopang pengeluaran di daerah tersebut. Di daerah-daerah yang PAD-nya masih minim, pemerintah pusat mensuplai banyak. Artinya, otonomi hanya terletak pada kekuasaan eksekutif saja. Beberapa daerah masih tergantung dari pusat untuk pendanaan.

Yang meruak dari otonomi daerah pasca keluarnya UU No.32 tahun 2004 adalah motivasi untuk menjadi pemegang kekuasaan di daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil di daerah sudah banyak dianalisis oleh sosiolog atau ilmuwan politik. Kue kekuasaan yang sudah terbagi ini kemudian menjadi ‘bancakan’ bagi mereka yang duduk di pemerintahan daerah. Beberapa daerah kemudian gagap dalam menyusun alokasi belanja pemerintah daerah. Pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya menjadi alasan bagi terbentuknya pemerintah daerah yang lebih otonom kadangala tidak tercakup, karena orientasi pemerintahan daerah adalah pembangunan fisik : membangun jalan, membangun stadion olahraga, atau membangun gapura selamat datang.

Kembali dalam pertanyaan di atas, apakah pembangunan sosial sudah berjalan di negeri ini, ternyata pembangunan yang mengarah pada otonomi daerah tidak lantas melahirkan pembangunan sosial yang bericirikan “bottom-up”. Pendek kata, pembangunan sosial hanya dimaknai pembangunan yang berasal dari atas, tanpa ada timbal balik dari masyarakat, meskipun sudah secara politik sudah menjalankan otonomi daerah. Karena dalam pendekatan pembangunan dari bawah yang dilakukan dalam otonomi daerah, kebanyakan tidak optimal. Wacana “pembangunan dari bawah” – yang masih asing di masyarakat- tidak seharusnya disikapi dengan institusionalisme pembangunan di tingkat lokal. Ibarat cermin, wacana seharusnya dipantulkan kembali dengan wacana. Membangkitkan alam wacana adalah dengan menggerakkan nilai-nilai. Itu artinya sebelum mendemokratisasikan pemerintahan, nilai-nilai demokrasi yang seharusnya ditanamkan di masyarakat. Sebelum memberdayakan institusi pemerintahan lokal, seharusnya nilai-nilai “berdaya” yang harus ditanamkan di masyarakat. Thee Kian Wie, salah satu ekonom Indonesia pernah berkomentar di bukunya, “ Beginilah akibatnya kalau demokrasi di Indonesia dilakukan dengan kondisi perut yang lapar.” Dalam konteks ini, bisa dimaknai bahwa karena masyarakat tidak “berdaya”, dan yang tersedia untuk disantap adalah kue kekuasaan yang makin banyak (karena demokrasi), maka yang terjadi adalah berebut kue itu agar mereka kenyang dan berdaya. [J]

Sumber Tulisan: http://junosreflection.blogspot.com/2008/11/otonomi-daerah-dan-perut-yang-kosong.html
Teruskan baca - Otonomi Daerah dan Perut yang Kosong