A. Pengertian Profetik
Kata “profetik” berasal dari bahasa inggris
prophetical yang
mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi.
Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara
spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing
masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti
melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud,
Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan
budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan, mempunyai
tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Menurut Ali Syari’ati dalam Hilmy
(2008:179) para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi
mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan.
Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai
seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan
mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu
hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan
perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri
memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu
seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu
yang ada (Kuntowijoyo, 2001: 357).
Selanjutnya, Kuntowijoyo (2001:357) memasukan kata profetik kedalam
penemuannya tentang ilmu-ilmu sosial profetik yang mengandung tiga
muatan ilmu-ilmu sosial yaitu humanisme, leberasi, dan transendensi.
Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan pada Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya:
Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengah-tengah
manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan
beriman kepada Allah
Dari ayat tersebutlah dasar ketiga pilar nilai ilmu sosial profetik yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu; 1)
Amar Ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. 2)
Nahi Munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. 3)
Tu’minuna Bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia (Rosyadi, 2009:304).
Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep pendidikan profetik menurut Kuntowijoyo (2001:360);
Pertama, konsep tentang umat terbaik (
The Chosen People),
yang menjelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat
mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Umat
Islam tidak secara otomatis menjadi
The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep
The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat.
Kedua,
aktivisme atau praksisme gerakan sejarah yang dapat di artikan sebagai
sikap bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah umat
manusia (
Ukhrijat Linnas) yang terwujud dalam sikap partisipatif
umat islam dalam percaturan sejarah. Oleh karenanya pengasingan diri
secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para
intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa
dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan.
Ketiga,
pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi
landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun
kesadaran umat, terutama umat Islam.
Keempat, etika profetik,
ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja
baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya)
maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol),
maupun kolektifitas (jama’ah, umat, kelompok/paguyuban) Point yang
terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah
dibangun sebelumnya.
Selanjutnya, Shofan (2004:131) mengungkapkan konseptualisasi
pilar-pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma
pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang
konsen terhadap nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan
modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme sistem
pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua
sisi diametrikal antara pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan
pendidikan ala timur yang sudah secara historis telah ada sejak nenek
moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga dimensi yang
mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan
transendensi.
Lebih lanjut Kuntowijoyo dalam Shofan (2004:135) mengatakan bahwa
cita-cita etik dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari
nilai-nilai yang mengakar pada budaya, ajaran agama dan nilai-nilai
moral bangsa sehingga pencapaian cita–cita pendidikan tidak mengorbankan
jati diri bangsa. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman
nilai-nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas
pendidikan untuk melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat
dipahami secara empiris.
Landasan pendidikan tersebut sekiranya diorientasikan untuk
memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan
konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan
deduktif-induktif idealnya diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan
umum dan pendidikan moral, hal ini lah konsep dasar sebuah pendidikan
profetik yang dibutuhkan pada saat ini.
Sehingga disimpulkan bahwa, pendidikan profetik (
Prophetic Teaching)
adalah suatu metode pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari
ajaran nabi Muhammad saw. Prinsip dalam pendidikan profetik yaitu
mengutamakan integrasi. Dalam memberikan suatu materi bidang tertentu
juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah,
sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai.
B
. Tujuan Pendidikan Profetik
Selain, mempunyai tujuan humanitis, liberalis, dan transedensi, pada
dasarnya tujuan umum pendidikan Islam, menurut Prof. M. Athiyah
Al-Abrasyi dalam Rosyadi (2009:162) menyimpulkan lima tujuan umum yang
asasi. Diantaranya yaitu;
- Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Bahwa pendidikan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna
adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
- Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan
Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang
itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan.
- Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi
kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai
kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai
kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan.
- Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu.
- Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan
suapaya dapat menguasai profesi tertentu dan perusahaan tertentu agar
dapat mencari rezeki.
Sebagai kekuatan pembebas, Pendidikan Islam berusaha untuk membangun
social capacity yang mengandung makna bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu,
starting point
dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis
tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan
keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi
(Rosyadi,2009:163).
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan
manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak
(antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu
murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern
ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan
dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal
pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan
moral-transendensi.
Selanjutnya, Rosyadi (2009:170) mengungkapkan bahwa selain sebagai
pendorong agama dan ahlak tujuan pendidikan profetik juga mempunyai
tujuan khusus yaitu diantaranya:
- Memperkenalkan generasi muda akan akidah-akidah islam,
dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakannya dengan
betul, dengan membiasakan mereka berhati-hati, mematuhi akidah-akidah
agama dn serta menjalankan serta menghormati syiar-syiar agama.
- Menumbuhkan kesadaran yang betul pada pelajar terhadap agama
termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar ahlak mulia. Juga membuang
bid’ah-bid’ah, khurafat, kepalsuan-kepalsuan, dan kebiasaan-kebiasaan
usang yang melekat kepada islam tanpa disadari, padahal islam itu
bersih.
- Menambah keislaman kepada Alla pencipta alam, juga kepada malaikat,
rosul-rosul, kitab-kitab, dan hari akhir berdasar pada faham kesadaran
dan keharusan perasaan.
- Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambahkan pengetahuan dalam
adab dan pengetahuan keagamaan agar patuh mengikuti hukum-hukum agama
dengan kecintaan dan kerelaan.
- Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur’an, berhubungan
dengannya, membaca dengan baik, memahami dan mengamalkan
ajaran-ajarannya.
- Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka.
- Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab,
menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan taqwa, kasih
sayang, cinta kebaikan, sabar, perjuangan untuk kebaikan, memegang teguh
pada prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air, serta siap
membelanya.
- Mendidik naluri, motivasi, keinginan generasi muda, dan membentengi
mereka menahan motivasi-motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya
dengan baik. Begitu juga mengajar mereka, berpegang dengan adab
kesopanan pada hubungan dan pergaulan mereka, baik di rumah, di sekolah,
di jalan atau pada lain-lain tempat lingkungan.
- Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka, menguatkan
perasaan agama, menyuburkan hati mereka dengan kecintaan, dzikir dan
taqwa kepada Allah.
- Membersihkan hati mereka dari dengki, iri hati, benci, kezaliman,
egoisme, tipuan, khianat, nifaq, ragu, perpecahan dan perselisihan.
C. Metode dalam Pendidikan Profetik
Dalam rangka mencapai tujuannya maka pendidikan profetik menggunakan
beberapa metode, menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1992) dalam Rosyadi
(2009:216), sebagai berikut:
1. Metode
Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi
Hiwar artinya percakapan silih berganti antara dua pihak melalui
tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada suatu tujuan. Dalam
Al Qur’an dan sunnah terdapat lima jenis hiwar diantaranya:
a.
Hiwar khitabi atau
ta’abbudi (percakapan pengabdian).
Dalam hal ini, hiwar yang dilakukan yaitu dalam bentuk doa, membaca al Qur’an, tasbih, dll.
b.
Hiwar washfi (percakapan deskriptif)
Hiwar ini menjelaskan bagaimana suatu hal itu terjadi diterangkan
secara deskriftif seperti orang yang masuk surga atau orang yang masuk
neraka.
c.
Hiwar qishashi (percakapan berkisah)
Hiwar ini terdapat dalam sebuah kisah yang baik bentuk rangkaian
ceritanya sangat jelas, yaitu hiwar yang merupakan anasir kisah di dalam
al Qur’an.
d.
Hiwar jadali (percakapan dialetik)
Hiwar ini melahirkan sebuah diskusi atau perebatan yang bertujuan untuk memantapkan
hujjah
kepada para peserta diskusi. Sehingga implikasinya mendidik anak
bersemangat menegakkan kebenaran, menjauhkan dari sifat-sifat batil,
pikiran-pikiran musyrik dan munkar.
e.
Hiwar nabawi .
Hiwar nabawi ini erat kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh
Rasullulah SAW, karena beliau adalah salah seorang pendidik yang mahir
dan pandai dalam melakukan beberapa metode pendidikan islam.
Mendidik dengan kisah Qurani dan Nabawi
Dalam pendidikan islam, kisah merupakan fungsi edukatif yang tidak
dapat dihilangkan atau diganti dengan bentuk penyampaian lain selain
bahasa. Hal ini di sebabkan karena kisah Qurani dan Nabawi memiliki
beberapa keistimewaan yang mempunyai dampak psikologis dan edukatif.
2. Mendidik dengan
amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi
Perumpamaan dalam pendidikan islam sering digunakan biasanya
perumpamaan yang digunakan berasal dari cerita di al Qur’an ataupun dari
kisah nabi, misal perumpamaan seorang yang berbuat baik, maka akan
mendapatkan pahala.
3. Mendidik dengan memberi teladan
Keteladanan adalah sangat penting bagi berlangsungnya suatu proses
pendidikan. Hal ini menekankan kepada setiap pendidik harus berprilaku
baik dan selalu meneladani sifat-sifat rasul sehingga peserta didik pun
akan segan dan akan meneladani sikap.
4. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
Mendidik dengan latihan dan pengalaman dapat menggugah ahlak yang
baik pada jiwa anak didik, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang
sukses dalam perbuatan dan pekerjaan.
5. Mendidik dengan mengambil
Ibrah (pelajaran) dan
mau’izhah (peringatan)
Makna
ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan
manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan
menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Sedangkan,
mau’izhah ialah nasehat yang lembut dapat diterima oleh hati dengan cara mencelaskan pahala atau ancamannya.
6. Mendidik dengan
targhib (membuat senang) dan
tarhib (membuat takut).
Targhib ialah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat
orang senang terhadap suatu maslahat, kenikmatan atau kesenangan akhirat
yang pasti dan baik, serta bersih dari segala kotoran yang kemudian
diteruskan dengan melakukan amal saleh dan menjauhi kenikmatan sepintas
yang mengandung bahaya atau perbuatan buruk. Sedangkan,
tarhib
ialah ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau
kesalahan yang dilarang oleh Allah SWT, atau akibat lengah dalam
menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Sekiranya metode tersebut dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran
akan membuat anak didik menjadi orang yang berahlakul karimah atau
berahlak mulia seperti Rasulluah SAW.
Sementara itu, menurut Cecep Darmawan (2006:94), metode dalam
pembinaan dan pelatihan karyawan yang berbasis profetik sebagai berikut:
1. Metode Tilawah
Metode ini memilik makna membaca. Metode ini diarahkan untuk membaca
al Qur’an. Dengan begitu akan terciptanya pembudayaan membaca al Qur’an.
2. Metode Taklim
Metode ini berartikan proses pengajaran. Taklim disini dalam arti
pemahaman kita dalam proses tranfer dan tranformasi dari pihak pertama
kepada pihak kedua. Sementara itu dalam konsep pembinaan maka dalam
kaitannya pembekalan teori, nilai-nilai, kiat-kiat sukses, kiat kinerja
produktif, aturan, atau tata tertib yang berlaku pada lingungan
perusahaan.
3. Metode Tazkiyyah
Kata tazkiyyah berasal dari kata “zaka” yang berarti tumbuh kembang
atau penyucian. Konsep ini kita maknai sebagai satu kemampuan memisahkan
atau membersihkan. Implikasinya adalah memberikan pelatihan dan
pendidikan kepada karyawan dengan tujuan untuk melakukan eliminasi
perilaku-perilaku buruk.
4. Metode Hikmah
Konsep hikmah, ditujukan untuk menunjukan pengetahuan filosofis sehingga orang yang berfilsafat disebut ahli hikmah.
Untuk daftar pustaka maaf saya tidak bisa menampilkannya, namun tulisan ini sekiranya dapat bermanfaat,…aminn…
Sumber: http://misteriyana.wordpress.com/2013/06/05/pendidikan-profetik/