Kamis, 10 Desember 2009

Penggusuran PKL dan Politik Pemerintahan Kota


PENGGUSURAN pedagang kaki lima di Jakarta tak lain adalah cerita lama yang sudah amat usang. Namun, sedemikian rupa penggusuran PKL berlangsung, akhirnya penggusuran demi penggusuran bermetamorfosis menjadi pentas opera sabun yang tak berujung pangkal, muncul secara repetitif dan tinggal menunggu waktu meletup sebagai persoalan sosial.

Penggusuran yang baru saja berlangsung misalnya, memiliki geneologi persoalan dengan masa lampau dan memiliki corak yang hampir sama dengan apa yang bakal terjadi di masa depan. Ini semacam siklus kehidupan yang penuh ketegangan. Generasi masa kini Pemprov DKI Jakarta dan generasi masa kini kaum pedagang kaki lima (PKL) seakan sama-sama terbenam ke dalam perseteruan abadi.

Paling tidak sejak dasawarsa 1970-an, penggusuran PKL sebenarnya telah berkembang menjadi keputusan pemerintahan kota yang vakum dari suasana tawar- menawar menurut kaidah demokrasi. Mau tak mau, seluruh kenyataan ini memperhadapkan secara amat keras format penertiban ciptaan pemprov melawan kelompok perekonomian masyarakat di sektor informal. Sayang, hampir tidak ada upaya memadai pada kalangan internal Pemprov DKI Jakarta untuk mereview secara kritis manfaat dan implikasi yang ditimbulkan berlangsungnya penggusuran PKL. Padahal, obsesi terhadap ketertiban dan keamanan memarjinalisasi nilai dan hakikat ekonomis PKL.

Tinjauan para ahli ilmu sosial soal PKL sebagai kristalisasi dan respons balik terhadap ketidakmampuan negara dalam hal menyediakan lapangan kerja di sektor modern, ternyata tak cukup digdaya mengubah konstruk psikologis petinggi Pemprov DKI Jakarta agar melahirkan paradigma baru kesejahteraan sosial, mengacu keberadaan sektor informal sendiri. Sungguh pun sejak lama kesimpulan para ahli ilmu-ilmu sosial mengedepankan makna penting sektor informal dalam konteks PKL sebagai katup pengaman terjadinya ledakan pengangguran serta penyediaan kebutuhan masyarakat kalangan bawah, penggusuran PKL terus mencari "mangsa". Tak bisa dielakkan reposisi secara tepat PKL tak pernah menjadi bagian inheren bagi tegaknya good governance Pemprov DKI Jakarta.

Yang lalu mendesak ditelaah dari seluruh kenyataan yang memilukan semacam ini ialah sudah tiba saatnya untuk menyimak penggusuran PKL dalam konteks politik pemerintahan kota.

Sebuah irasionalitas

Dalam beberapa tahun terakhir, penggusuran PKL hanya memperkukuh irasionalitas hubungan antara oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta dengan pelaku ekonomi di sektor informal. Di satu pihak, oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta memberi legalitas terhadap kehadiran PKL melalui pungutan uang keamanan, uang kebersihan, sumbangan perayaan 17 Agustus, serta pemaksaan akan adanya tunjangan hari raya (Kompas, 29/11). Ada semacam soft shock yang digerakkan secara permanen oleh para oknum dari kalangan Pemprov DKI Jakarta demi menghegemoni eksistensi sektor informal di pinggiran-pinggiran jalan.

Di lain pihak, tiba-tiba muncul upaya penegakan hukum dalam wujud penggusuran yang dilandaskan retorika ketertiban dan keamanan. Inilah hard shock yang menerpa PKL dan secara kasat mata memunculkan tragedi kemanusiaan. Disimak dalam perspektif ekonomi politik, di sini tidak berlaku asas resiprositas. Pungutan demi pungutan yang diberlakukan oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta tak diimbangi terselenggaranya perlindungan secara terhormat terhadap PKL dari ancaman pemusnahan. Persis bunyi pepatah, penggusuran PKL merupakan wujud paling gamblang dari "habis manis sepah dibuang". Oleh karena itu, persoalan krusialnya kemudian, di mana makna kehadiran negara?

Potret dua realitas yang kontras itu ternyata kehadirannya benar-benar merefleksikan adanya irasionalitas hubungan antara Pemprov DKI Jakarta dengan masyarakat periferal yang terkristalisasi ke dalam kelompok-kelompok PKL. Secara sosiologis, hubungan sumbang ini analog dengan situasi di seputar sleeping with enemies. Persepsi "kawan" dan "lawan" dalam hubungan kedua pihak ternyata dengan mudah bertukar-tempat. Apa arti semua ini?

Baik dalam situasi "aman" tidak adanya penggusuran maupun saat berlangsung penggusuran, kaum periferal dalam konteks PKL ternyata terus menjadi the losser, yakni pihak yang dikalahkan. Hingga pada titik ini timbul persoalan demokrasi dan good governance terbentur jalan buntu, yang pada giliran selanjutnya justru menistakan spirit kesetaraan hubungan antara pemerintah dan warga negara. Ada dan tidak adanya penggusuran ternyata sama-sama memarjinalkan posisi kaum periferal.

Disadari atau tidak, Pemprov DKI Jakarta telah bekerja secara sistematis menumbuhkan benih-benih antagonisme dalam rentang hubungan antara pemerintah dan kaum periferal. Dan seperti mengikuti logika kontrak sosial dalam jalinan interelasi antara state dan civil society maka antagonisme itu merupakan sebuah kekuatan yang bergerak di bawah sadar bagi kelahiran radikalisme di kalangan kaum periferal.

Sayang, realitas sosiologis yang pahit ini tak pernah disadari jajaran Pemprov DKI Jakarta. Jika hari ini ada penggusuran, besok ada pungutan. Bukan saja Pemprov DKI Jakarta telah bermain api berdasarkan retorika penegakan hukum, lebih dari itu mempermainkan nasib ratusan warga negara beserta sanak keluarganya. Semua ini membuka koridor runtuhnya trust publik terhadap pemerintahan kota sehingga menjadi tak terelakkan jika penggusuran semata dipersepsi publik sebagai proyek.

Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa prakarsa terselenggaranya penggusuran tak pernah dilengkapi solusi-solusi cerdas ke arah penciptaan lapangan kerja serta tak adanya tawaran elegan bagi berlangsungnya transformasi sektor informal menuju sektor formal. Penggusuran PKL benar-benar menjadi panggung untuk sepenuhnya mementaskan opera sabun. Tak lebih, tak kurang.

Seandainya membaca Hatta

Kini kita hanya bisa membuat pengandaian saat harus menyimak opera sabun yang semacam itu. Seandainya para pengambil keputusan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta membaca Bung Hatta, niscaya penggusuran PKL takkan pernah memperlihatkan corak ugal-ugalan sebagaimana berlangsung selama ini. Bahkan penggusuran dianggap tidak relevan untuk tujuan penyelesaian masalah. Sebagai founding father yang ikut berjasa memberikan kontribusi bagi terbentuknya konstitusionalisme kedaulatan rakyat, rumusan Bung Hatta tentang kemakmuran dan keadilan bagi kaum periferal kini penting diperhatikan kembali, terutama dalam kaitan dengan seluruh upaya menemukan jawaban yang mencerahkan mengapa penggusuran terlampau jauh berfungsi sebagai part of problem ketimbang part of solutions.

Sebuah kata kunci yang pernah dikemukakan Bung Hatta berkenaan perbaikan nasib kaum periferal di Indonesia ialah "besarnya beban tanggung jawab pemerintah". Pemerintahan ada justru untuk membebaskan kaum periferal dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan pada tataran ekonomi. Apa yang oleh Bung Hatta disebut "sistem ekonomi kerakyatan" tak lain dan tak bukan adalah memposisikan kaum periferal pada mekanisme pasar berkeadilan. Besarnya beban tanggung jawab pemerintah dalam hal ini terletak pada kemampuannya menempatkan pelaku usaha periferal pada setting yang tepat dalam proses besar transformasi ekonomi, melalui rancang bangun kebijakan yang memiliki muatan amat kuat pada upaya memajukan dan memandirikan kaum periferal di bidang ekonomi.

Dalam perspektif Bung Hatta, pemerintah sebenarnya aktor yang tak henti mengkreasikan tumbuhnya kelembagaan ekonomi serta merestorasi kelembagaan ekonomi untuk tujuan aktualisasi peran dan aspirasi ekonomi kaum periferal. Dengan sendirinya, PKL sebagai sebuah entitas ekonomi justru harus disimak secara saksama potensi-potensi besarnya bagi penciptaan keadilan dan kemakmuran. Bila ternyata entitas ekonomi semacam PKL potensial menggangu ketertiban dan keamanan kota, tugas pemerintah mengarahkan perkembangan PKL sebagai institusi-institusi ekonomi yang tumbuh secara genuine dalam kancah kehidupan masyarakat agar beradaptasi dengan atmosfer persaingan dalam mekanisme pasar berkeadilan.

Sayang, legacy kenegarawanan Bung Hatta di bidang ekonomi ternyata kosong dari perhatian Pemprov DKI Jakarta selama ini. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, dapat dikatakan, jajaran Pemprov DKI Jakarta ternyata tumpul saat diharapkan mampu menafsirkan ulang buah pikir Bung Hatta tentang sistem ekonomi kerakyatan. Yang terjadi justru sebaliknya, dalam situasi aman tanpa penggusuran, PKL difungsikan sebagai ladang eksploitasi oknum-oknum Pemprov DKI Jakarta.

Maka, politik pemerintahan kota dalam konteks Jakarta bukan saja telah menistakan keharusan adanya transformasi perekonomian dari sektor informal menuju sektor formal, tetapi sekaligus telah mengingkari visi kenegarawanan Bung Hatta. Jujur harus diakui, penggunaan badan jalan oleh PKL telah mengubah kemacetan lalu lintas jalan raya menjadi patologi dengan social cost yang mahal. Namun, jika problem PKL itu disentuh melalui visi kenegarawanan ala Bung Hatta, Pemprov DKI Jakarta justru akan tampil sebagai pahlawan bagi terciptanya kemakmuran sosial ekonomi kaum periferal. Langkah ke arah ini sebenarnya terbuka diwujudkan melalui upaya-upaya social marketing terhadap arti penting pilihan lokasi sentra kegiatan usaha PKL yang semula tak strategis.

Yang dimaksudkan dengan politik pemerintahan kota di sini ialah lahirnya visi humaniter jajaran Pemprov DKI Jakarta saat harus bersentuhan dengan kompleksitas persoalan PKL. Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta didesak kewajiban moral untuk mengembangkan berbagai prakarsa ke arah terciptanya setting yang lebih tepat bagi realisasi potensi kewirausahaan PKL. Namun, kontras dengan itu, politik pemerintahan kota bisa juga berarti kristalisasi pandangan subyektif jajaran Pemprov DKI Jakarta dalam memaknai peran, fungsi, dan kedudukan PKL. Pandangan subyektif inilah yang melandasi terjadinya penggusuran.

Jadi, seluruhnya kini berpulang pada jajaran Pemprov DKI Jakarta sendiri, apakah terus hendak memfungsikan penggusuran sebagai opera sabun atau mulai menafsirkan kembali secara cerdas sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana digagas Bung Hatta. Jika pilihannya masih stagnan pada yang pertama, tak berlebihan jika dikatakan politik pemerintahan kota di Jakarta bercorak antikerakyatan dalam maknanya yang begitu telanjang.

Anwari WMK Peneliti Bidang Filsafat dan Kebudayaan pada The Amien Rais Center, Associate Editor pada Pustaka LP3ES Indonesia
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3306&coid=4&caid=4&gid=1