Kamis, 10 Desember 2009

Penggusuran PKL, Salah Siapa?


Setiap pagi selama hari kerja, saya berangkat mengajar selalu melewati Jl. Gembong dan Kapasari yang merupakan lokasi pasar Pedagang Kaki Lima (PKL) yang khas berjualan barang bekas. Kemacetan dan hiru pikuk ramainya orang bertransaksi selalu saya jumpai dalam perjalan pagi saya ke tempat kerja. Namun, kondisi itu tidak sama lagi ketika tanggal 14 Februari 2008. Hari kasih sayang tersebut menjadi tidak berkasih sayang lagi bagi para PKL di kawasan Gembong. Pasalnya, pada hari itu pemerintah Kota Surabaya dengan bantuan dari pihak TNI dan POLRI memaksa mereka membongkar lapak-lapak (tempat berjualan) para PKL sejak pukul 02.00 dini hari. Alhasil, saya yang biasanya bisa melewati jalan Kapasari harus terpaksa memutar jalur melalui daerah Kapas Krampung dan Kenjeran karena jalan Kapasari dan Gembong ditutup total bagi para pengguna jalan.

Meskipun eksekusi penggusuran berjalan dengan lancar dan tanpa ada perlawanan dari para PKL, namun beberapa PKL dan keluarganya tampak lesu dan bahkan ada beberapa yang mengeluarkan air mata. Di ujung jalan, saya melihat beberapa polisi menjaga jalan agar tidak dilalui oleh pengguna jalan meskipun ada beberapa yang nekat menerobos dan akhirnya harus kembali lagi karena jalan Kapasari saat itu penuh dengan orang dan becak serta gerobak yang sedang membongkar lapak sehingga tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermotor.

Di beberapa sudut trotoar dan lapak yang belum terbongkar, saya melihat beberapa aparat juga sedang melepas lelah dengan cara tidur di kursi panjang warung yang akan dibongkar. Mungkin para aparat tersebut juga dilanda kelelahan yang sangat mengingat mereka harus berjaga sejak pukul 02.00 dini hari.

Permasalahan PKL di negara berkembang, salah siapa?

Proses penggusuran tersebut menuai berbagai pro dan kontra. Dari pihak PKL dan keluarganya serta aktivis LSM peduli PKL menganggap bahwa tindakan pemerintah tersebut semena-mena karena tidak memperdulikan hati nurani serta tidak adanya ganti rugi bagi para PKL yang tergusur. Padahal, banyak PKL yang ada di sana sudah menempati lahan di bahu jalan tersebut sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan sudah ada pedagang yang menempati tempat jualannya sejak 4 generasi yang lalu. Selain itu, proses penggusuran tersebut terkesan mendadak karena masih baru beberapa hari yang lalu para pedagang dianjurkan untuk pindah.

Kemudian, pihak pemerintah dan masyarakat khususnya para penduduk di jalan tersebut serta para pengguna jalan menilai langkah pemerintah sudah tepat. Hal ini mengingat bahwa jalan tersebut memang memiliki fungsi sebagai sarana transportasi dan bukannya sarana pasar. Selain itu, para pemilik lahan pertokoan yang berada di balik lokasi PKL tersebut sudah merasa membayar pajak tetapi tidak bisa memanfaatkan tempat tinggalnya untuk kegiatan usaha karena tertutup oleh para PKL yang berdagang di bahu jalan.

Lantas, muncul pertanyaan “siapakah yang benar? siapakah yang salah?”. Permasalahan PKL memang menjadi perhatian yang serius, khususnya bagi pemerintah di negara berkembang. Katakanlah Indonesia, di beberapa kotanya selalu saja menghadapi masalah yang sama dari para PKL yaitu ketidak-sediaan para PKL dipindah, proses Relokasi yang rumit, PKL yang kumat berjualan lagi di tempat yang sama, bahkan sampai pada adanya tindakan anarkis yang menuntut kembali PKL berjualan di tempat yang sama.

Kerumitan masalah ini sebenarnya terletak pada masalah struktural ekonomi yang asimetris. Dimana masyarakat sebagai pelaku ekonomi merasa tidak mendapatkan porsi yang jelas dari kegiatan ekonominya. Kondisi ini diperparah dengan semakin minimnya lapangan kerja di berbagai sektor. Alhasil, wirausaha dengan modal kecil adalah salah satu solusi yang digunakan oleh masyarakat. Kondisi tersebut terlambat ditangani oleh pemerintah, sehingga selama beberapa tahun masyarakat yang mengambil jalan pintas (baca: tidak prosedural) dalam berusaha akhirnya membenarkan tindakan yang dilakukannya. Dan, pada akhirnya mereka merasa bahwa eksistensi mereka melakukan kegiatan ekonomi di pinggir jalan dianggap sebagai sebuah kelumrahan yang wajar.

Lantas salah siapakah kondisi seperti ini sekarang? Yang jelas adalah salah kita bersama. Pihak pemerintah, PKL, masyarakat yang ada, termasuk saya sendiri adalah pihak yang salah. Kenapa? karena jelas-jelas kita tahu itu salah, kenapa kita diamkan saja? Seharusnya pemerintah sebagai stakeholder dalam pengelolaan kota bisa tanggap dan mampu mengantisipasi masalah ini sejak dini, sehingga tidak menjadi kebiasaan. Para PKL seharusnya juga sadar, bahwa dengan mereka berjualan di pinggir jalan, pasti akan mengakibatkan kemacetan dan penggunaan fungsi jalan yang tidak seharusnya. Bagi masyarakat, seharusnya bisa menjadi agent of change dari setiap tindakan yang tidak seharusnya sehingga norma dan nilai yang berkembang di masyarakat dapat memberikan sangsi, minimal secara psikologis, bagi masyarakat lain yang melakukan pelanggaran atas fungsi publik.

Semoga saja pemerintah bisa menangani masalah ini tanpa harus menciptakan masalah baru lagi. Dan, sudah siapkah kita memiliki kesadaran sebagai agent of change di lingkungan sekitar kita?

Sumber Tulisan :http://widytaurus.wordpress.com/2008/02/15/penggusuran-pkl-salah-siapa/