Kamis, 10 Desember 2009

Krisis Pangan dan Otonomi Daerah


Ancaman dan dampak krisis pangan dunia yang gejalanya muncul sejak awal 2008 tampaknya belum akan segera berakhir. Bahkan kemungkinan penurunan produksi akan terjadi di beberapa bulan mendatang di beberapa negara karena dampak kekeringan lahan-lahan pertanian.

Respons internasional terhadap krisis pangan dunia antara lain dilakukan melalui UN-FAO Food Summit bulan Juni 2008, di Roma. Para delegasi dari 181 negara telah membahas berbagai dampak krisis pangan serta strategi solusinya.

Secara garis besar, direkomendasikan tiga solusi untuk mengatasi krisis pangan, yaitu meluncurkan berbagai strategi untuk mendorong peningkatan produksi pangan, pengurangan hambatan dan pembatasan perdagangan pangan internasional serta mendorong kajian yang mendalam terkait bioenergi yang dipandang juga menjadi salah satu pemicu krisis pangan.



Pertanian dan otonomi

Dalam konteks Indonesia, situasi krisis pangan memiliki kaitan erat dengan implementasi otonomi daerah. Seiring dengan gerakan reformasi, pemerintah pusat telah mengimplementasikan kebijakan otonomi pada berbagai aspek sejak tahun 2001. Otoritas dan kebijakan pembangunan pertanian juga telah didelegasikan kepada pemerintah daerah utamanya pada tingkat kabupaten atau kota.

Pelimpahan wewenang mestinya dapat meningkatkan kinerja pembangunan pertanian daerah sesuai dengan potensi dan kapasitas lokal. Dengan dukungan anggaran yang besar, pemerintah lokal memiliki kebebasan untuk mengembangkan kebijakan dan teknologi lokal melalui kajian di lembaga penelitian lokalnya.

Efektivitas otonomi bidang pertanian masih diperdebatkan beberapa kalangan. Di satu sisi ada peluang munculnya inisiatif dan pemberdayaan sumber daya lokal. Namun di sisi yang lain, ada ancaman inkonsistensi dari birokrasi dan legislator daerah terhadap arti penting pembangunan pertanian.

Pembangunan pertanian dianggap oleh sebagian birokrasi dan legislator lokal sebagai bidang yang cost-center yang membutuhkan investasi besar namun return-nya cukup lama. Hal ini yang menyebabkan mengapa isu pentingnya pembangunan pertanian kurang menarik perhatian bagi sebagian besar pembuat kebijakan daerah.

Kepala daerah dan anggota DPR yang dipilih dalam periode lima tahun, dalam beberapa kasus akan lebih tertarik dan berkonsentrasi mengurusi bidang yang memiliki return tinggi dan lebih cepat seperti industri, pertambangan, eksploitasi hutan atau pariwisata. Pembangunan pertanian di beberapa daerah menjadi terpinggirkan.

Meskipun masih perlu didukung dengan data-data empiris, kecenderungan umum menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah kurang pro terhadap kegiatan yang terkait dengan pembangunan pertanian.

Kecenderungan penurunan aktivitas pembangunan pertanian antara lain disebabkan (1) perbedaan persepsi antara daerah dan pusat serta antara eksekutif dan legislatif lokal tentang peranan pembangunan pertanian, yang memperbesar variasi yang mencolok dalam kebijakan pertanian, (2) rendahnya prioritas dan alokasi anggaran untuk pembangunan pertanian (3) ketersediaan informasi pertanian sangat terbatas, (4) penurunan kapasitas dan kemampuan manajerial dari penyuluh pertanian serta (5) penyuluh pertanian kurang aktif untuk mengunjungi petani, kunjungan lebih banyak dikaitkan dengan keproyekan.

Rendahnya perhatian terhadap pertanian di daerah misalnya dalam hal kelembagaan penyuluhan. Banyak kasus dibubarkannya lembaga khusus yang melayani penyuluhan pertanian di kabupaten. Sebagian kecil tidak berubah, sebagian berganti kelembagaan dengan kewenangan yang lebih sempit, sebagian bergabung menjadi tenaga fungsional di dinas pertanian dan sebagian belum jelas posisinya.

Beberapa penyuluh pertanian lapangan dialihfungsikan menjadi staf struktural bahkan dipindah ke dinas yang tidak terkait dengan pertanian. Pembangunan pertanian dan sistem penyuluhan pertanian yang tidak efektif berdampak pada ketidakmampuan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga ketahanan pangan.

Mengembalikan ide sentralisasi pembangunan pertanian seperti pada masa revolusi hijau tampaknya juga bukan pilihan yang tepat karena membatasi partisipasi dan inisiatif lokal, bagaimanapun perlu upaya yang sistematis dan serius supaya otonomi daerah juga memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pertanian.

Perlu perubahan mindset dari birokrasi lokal, perlu terus didorong sehingga mereka menjadi lebih pro terhadap kebijakan pertanian. Program yang perlu dikembangkan antara lain pendidikan arti penting pembangunan pertanian, baik terhadap birokrat, politisi, maupun legislatif yang memiliki otoritas membuat kebijakan terakit pembangunan.



Kebangkitan pertanian

Kondisi krisis pangan mestinya membuka kesadaran semua pihak bahwa pertanian dan pangan adalah bidang yang sangat strategis dan sangat penting. Industri dan sektor lain akan lumpuh tatkala tidak ada jaminan pasokan dan ketersediaan pangan yang cukup.

Dalam konteks nasional, krisis pangan bisa dijadikan langkah awal untuk membangkitkan pertanian yang sejak tahun 1980-an terpinggirkan dalam perpolitikan dan kebijakan nasional. Saatnya untuk mewujudkan kebijakan yang berpihak dan menggairahkan petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraan keluarganya.

Pelaksanaan otonomi daerah yang secara teori sangat berpotensi memberdayakan inisiatif lokal mestinya lebih berpihak pada petani dan warga pedesaan sehingga program-program pendukung kebangkitan petani perlu mendapat prioritas dan perlu segera diwujudkan.

Pertanian yang telah terbukti memberikan lapangan kerja, menghasilkan pangan, mendatangkan devisa serta menjaga kelestarian lingkungan; perlu mendapat perhatian yang layak dan konsisten.

Perubahan mindset perencana dan penentu kebijakan di pusat dan daerah menjadi kebutuhan mendesak. Kini saatnya untuk membuktikan bahwa otonomi daerah memang berpihak pada klien-masyarakat lokal, berfungsi-guna dan efektif mendukung pembangunan pertanian dan mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Oleh: Subejo
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=10595&coid=3&caid=31