Jumat, 11 Desember 2009

Pendidikan di Maluku Utara: Antara angka dan Fakta

Pendidikan adalah proses pembebasan diri dari kebodohan dan kunci menuju perubahan. Di Maluku Utara pendidikan justru dikelola asal jadi.

Sekolah yang awalnya enam lokal itu, kini tinggal tiga kelas yang bisa dipakai. Itupun kalau hujan siswanya harus istirahat belajar. Harap maklum, atapnya sudah 80 persen bocor. SD di Desa Toliwang, nun di pedalaman Kao, Halmahera Utara ini, sudah dibantu dengan dana Inpres sekitar 30 tahun lalu. Sejak saat itu kondisi bangunan ini nyaris tak tersentuh bantuan. Dinding bangunan yang hanya dari Asbes, kini sebagian besar sudah keropos.
Kisah di atas baru awal cerita tentang kondisi fisik bangunan sekolah di Maluku Utara. Sampai awal tahun 2005 di kota Tidore Kepulauan, masih ada sekolah dengan kondisi mirip kandang ayam, dindingnya dari papan dan lantainya tanah. Baru pada TA 2005-2006 lalu, dibangun unit sekolah baru oleh Pemda Tikep. Lokasi sekolah itu hanya di pesisir Oba yang dapat dijangkau dalam waktu 1 atau 2 jam transportasi laut dari Tidore atau Ternate.
Keluhan soal terbatasnya sarana gedung, tak hanya datang dari pelosok terpencil. SD Mononutu yang terletak di jantung kota Ternate---ibukota provinsi sekarang---dalam lokasi yang sama sekaligus terdapat 4 Sekolah Dasar: SD Mononutu 1 dan 2 serta SD Kenari Tinggi 2 dan 4. “Kita ini sekolah di dalam kota, namun masih pararel, double shitf. Ini yang saya pikir bahwa kita berteriak mau maju namun sekolah masih tetap double shitf, ya sulit,” Keluh sang Kepala Sekolah.
Ini adalah ironi pembangunan pendidikan Indonesia. Padahal, seperti kata Ade Tais A.Ma. Kepala Sekolah SD Manunutu 1 Ternate, lembaga pendidikan memproduk generasi masa depan. ”Saya pernah minta kepada pemerintah, kalau boleh sekolah ini ditambah ruang belajarnya, karena memang muridnya cukup padat, minatnya cukup banyak, tetapi terbatasnya masalah gedung, fisiknya. Padahal, bangun gedung mewah yang hebat-hebat saja bisa,” ujarnya getir.
Ade patut prihatin. Karena Negara ini memiliki konstitusi yang mengharusnya prioritas pembangunan pendidikan. Negara memprioitaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Itu pesan pasal 31 ayat 4 UUD ’45.
Lalu apakah ini semua karena target 20 persen anggaran pembangunan diarahkan ke pendidikan tidak tercapai? Alumnus D2 STAIN Ternate ini sepakat jika anggaran pendidikan dinaikkan, banyak problem pendidikan seperti sarana penunjang pendidikan, dan kesejahteraan guru, dapat terpecahkan.
Di Maluku Utara, soal dana sepertinya tak jadi soal. Karena, anggaran yang masuk tahun 2007 ini jumlahnya lumayan: trilyunan rupiah. Tapi berapa yang kemudian dialokasikan ke sektor pendidikan? Said Hasan MPd, Kadis Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Maluku Utara mengaku, alokasinya sebesar Rp. 11 milyar. Masih jauh dari ideal.
Ini masih jadi masalah. Jangankan SD Toliwang di pedalaman Halmahera yang hampir roboh dimakan waktu. Di Ternate yang ibukota provinsi saja, satu bangunan dipakai hingga empat sekolah. Padahal idealnya, ujar Bapak enam anak ini, satu gedung sekolah hanya boleh dipakai satu sekolah. Tidak boleh dipakai lebih dari satu sekolah, atau dalam bahasa Ade, tidak boleh double shift.
Langkah dan upaya pemerintah guna perbaikan sektor pendidikan bukan tak ada. Kebijakan Pemprov Maluku Utara sebagaimana dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan 2002-2007 (RPJMD-red), mencanangkan antara lain ─Memperluas daya tampung SD, sekolah menengah dan pendidikan prasekolah yang lebih terjangkau dan berkualitas. Pembangunan sarana prasarana yang merata di seluruh Kabupaten/Kota. Peningkatan kualitas pendidikan, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan keluarga kurang mampu. Peningkatan kualitas, profesionalitas, kesejahteraan, citra, wibawa, harkat dan martabat guru. Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas.
Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab kondisi obyektif pendidikan Maluku Utara tahun 2002 silam, dengan jumlah SD 1.141, jumlah siswa 147.841dan jumlah guru 5.140. SLTP 189 unit, siswanya 46.208 dengan jumlah guru 3.499, dan SMU/SMK 71 unit, 24.771 siswa serta 1.152 guru. Disamping juga penyebaran tenaga pengajar pendidikan dasar yang belum merata pada wilayah kecamatan dan desa, melainkan terpusat pada ibukota kabupaten, daya tampung SMU/SMK dan sederajat terhadap lulusan SLTP, serta permasalahan kuantitas dan kualitas pendidikan secara umum. Kenapa daftar panjang ini perlu diangkat? Karena kini, kita tengah berada di tahun 2007, mendekati garis finish dari program yang dicanangkan 5 tahun lalu. Seberapa besar capaian dari program yang telah dicanangkan?
Hasan punya argmentasi sehubungan dengan rencana kerjanya. “Sekarang itu masih perluasan akses di samping kita ikuti dengan peningkatan mutu. Mengapa perluasan akses, karena infrastruktur kita belum memenuhi standar ideal,” jelasnya.
Perlu perhatian serius adalah angka yang ada dalam pendahuluan RKPD Pemprov. Maluku Utara 2006 berubah signifikan. Jumlah Sekolah mengalami pertambahan, tetapi terjadi penyusutan jumlah guru. SD 1.179 unit, SLTP/MTs. 253 unit, SMU/MA 215 unit, PT 8 unit. Sementara jumlah guru SD yang dibutuhkan 10.169 yang tersedia 669 orang, SLTP/MTs membutuhkan 1.319 orang guru dan yang tersedia baru 729 orang, tingkat SMK membutuhkan 568 orang yang tersedia baru 148 orang.
Itu perencanaan dari Pemprov untuk menjawab masalah pendidikan Maluku Utara, dengan mengacu pada data yang ada. Tapi mari kita lihat statistik BPS. Maluku Utara dalam Angka 2005-2006 mencatat, pada tahun 2005 jumlah SD se provinsi sebanyak 1.148 sekolah. Guru yang melayani sebanyak 7.364 orang. Jumlah itu tersebar di berbagai pelosok, dan mendidik murid-murid SD yang 212,323 jiwa. Jika dibagi secara merata, setiap sekolah kebagian 6 guru.
Kenapa datanya harus berbeda, dan selisih angkanya begitu besar? Kalau menggunakan data RKPD Pemprov, jumlah SD tidak sebanding dengan jumlah guru. Karena SD sebanyak 1.179 unit harus dilayani hanya dengan 669 guru. Logikanya, jika seorang guru tidak mengajar dua sekolah maka ada 510 unit sekolah yang kosong tanpa guru. Dengan sendirinya, pembangunan sekolah baru belum layak dilaksanakan saat ini. Namun, hingga saat ini belum ada laporan, sekolah dalam jumlah besar yang tak ada gurunya. Bahkan SD Toliwang yang begitu memprihatinkan, ternyata masih ada gurunya.
Ajaibnya, ada sekolah di dalam kota yang gurunya berlebih, tapi ada juga sekolah di pelosok yang hanya diasuh satu orang guru. Lalu data mana yang harus dipakai? Apakah database pendidikan yang begini kacau yang layak untuk dijadikan referensi dalam menyusun RKPD provinsi? Pertanyaan ini patut diajukan, karena data BPS tahun 2006 melaporkan, dari 907.130 penduduk Maluku Utara, masih ada 44 ribu yang buta huruf. Yang tak memiliki ijazah sama sekali jumlahnya 29,10 persen dari total jumlah penduduk Maluku Utara.
Dengan manajemen yang begitu sengkarut, kapan kita bebas buta huruf? Harap maklum, dengan manajemen seperti ini, seperti dikeluhkan Ade Tais, sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jika perencanaan pendidikan seluruhnya tetap sekacau ini, jangan harap generasi penerus Maluku Utara menerima pendidikan yang layak. Lalu dari mana harus membenahinya?
Said Hasan punya jawaban, masalah data base yang utama saat ini karena Dinas-Dinas di tingkat Kabupaten Kota tidak memasukkan laporan data mereka ke dinas provinsi. Ini problemnya. Untuk pemecahannya, pihaknya sudah merencanakan rembuk pendidikan se provinsi Maluku Utara. Maksud dari acara ini adalah untuk menyamakan data pendidikan se provinsi. Jika tidak dilakukan, sulit mendapat angka yang pasti dalam data base pendidikan di Maluku Utara.
Selain itu, tenaga pendidik yang beralih ke birokrasi menjadi tenaga struktral, baik di dalam maupun di luar instansi pendidikan sementara mereka asih terdaftar sebagai tenaga pendidik, juga salah satu yang diakuinya turut mengacaukan data jumlah pendidik. “Alih fungsi jabatan struktural itu sah-sah saja. Tapi yang dikuatirkan adalah pengalihan fungsi itu tidak berdasarkan analisis yang matang. Di bidang strategis, tidak harus menggunakan orang yang bukan ahli pendidikan. Pada saat di perhadapkan dengan program, misalnya UNDP, kan tidak nyambung karena bukan ahlinya,” ujarnya lagi. Rumitnya lagi, lanjutnya, budaya masyarakat Maluku Utara ternyata belum taat azas.
Gufran A. Ibrahim, Pembantu Rektor III Universitas Khairun Ternate punya jawaban penting soal kendala utama dunia pendidikan Maluku Utara. Masalah mendasar pendidikan di Maluku Utara adalah bagaimana menyiapkan blue print-nya. “Blue Print itu merupakan kerangka dasar perencanaan pendidikan Maluku Utara. Nah, blue print itu juga tidak jatuh dari langit tapi disiapkan melalui suatu survey pemetaan masalah-masalah pendidikan Maluku Utara. Dari hasil survey itulah kemudian dibuatkan blue print-nya atau dalam bahasa lain, adalah kerangka dasar sebuah perencanaan dan pengembangan pendidikan di Maluku Utara,” ujarnya.
Pemprov punya Rencana RPJMD (rencana 5 tahunan-red), kemudian di derivasikan kedalam RKPD (rencana tahunan-red), melalui Renja dan Rentara SKPD masing-masing instansi. Menurutnya, ini juga dibaca sebagai blue print, tetapi ada satu soal yang diakui oleh hampir seluruh instansi — data base mengenai masalah terkait dengan masing-masing instansi, juga diragukan kesahihannya. “Di kalangan pendidikan pun demikian, jangankan orang luar, dari dalam sendiri juga tidak begitu haqqul yakin mengenai kesahihan data itu, “ jelasnya.
Makanya ia menganjurkan sebuah survey secara komprehensif. “Mengapa survey perlu dilakukan, karena memang data base mengenai masalah-masalah pendidikan itu juga tidak valid menurut pengakuan mereka, tegasnya.
Jadi, itu kata kuncinya, harus mulai dari survay pemetaan masalah-masalah pendidikan lalu lahirkan blue print, dan itu dapat dibaca sebagai Renstra Dinas pendidikan 5, 10 atau 15 tahun kedepan, hingga berganti siapapun kepala dinasnya, itu kerangkanya. “Saya sudah pernah komunikasikan dengan teman-teman, termasuk juga kepala dinasnya (Kadis Dikjar Prov. Maluku Utara-red), waktu dia diminta ke sana (sebagai kadis-red), saya saran kepada untuk melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi, tapi itu kemudian tidak terjadi, karena terjebak dengan persoalan blockgrant, itu salah satu penyebabnya. Terjebak dalam pengertian hanya melihat kesitu, padahal harus memulai dengan survay tadi. Saya yakin survey dimaksud akan menjadi mula dari bagaimana merancang Pendidikan Maluku Utara kedepan,” jelasnya.
Mengenai alokasi dana untuk pendidikan di Maluku Utara, diaku Said belum sampai 20 persen sebagaimana amanat konstitusi. Tapi, menurutnya sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik. “Tahun 2006 lalu kira-kira 10 persen,” jelasnya.

Problem Gonta Ganti Kurikulum

MASALAH ini ditengarai sebagai problem krusial yang belum tertangani dengan baik. Orde silih berganti dengan kebijakan yang terus diperbaharui tak banyak mengubah pelayanan maupun mutu pendidikan Indonesia. Para menteri sejak Kabinet pembangunan dibawah kendali Soeharto, hingga Kabinet persatuan dibawah komando SBY ─ yang berubah hanya aspek yang jauh dari esensi. Depdikbud berganti nama menjadi Diknas atau Dikjar.
Dan juga kurikulum serta manajemen pengelolaan pendidikan yang terus berubah seperti CBSA, Link and Match, KBK, hingga yang terkini KBSP, tidak memberi dampak berarti bagi kualitas dan mutu pendidikan kita. Konsep yang dijejali itu sulit diimplementasikan, karena terbatasnya sarana dan prasarana, kompetensi tenaga penyelenggaranya, serta dukungan dana yang terbatas.
Semua itu, menurut Said Hasan, sumbernya pada manajemen yang tidak bagus. “Mutu itu ada jika manajemen bagus. Sama dengan, proses pendidikan adalah pembiasaan. Jadi kalau torang bicara mutu pendidikan maka kita bicara efek ikutan dari sebuah proses pendidikan. Kalau sebuah infrastruktur tidak bagus maka tidak akan mungkin prosesnya bagus, dan kalau prosesnya tidak bagus, maka tentu mutunya tidak akan bagus,” terangnya panjang lebar.
Dinasnya sudah berupaya menjawab masalah itu dengan melakukan perencanaan meliputi penyiapan infrastruktur, Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas. Tapi dalam bahasa Said, pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Karenanya, jangan saling menyalahkan. Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan memecahkan masalah pendidikan secara serius.

Tim GENTA
Dikutip dari GENTA EDISI II, Oktober 2007