Kamis, 10 Desember 2009

Pesona Diskriminasi dalam RUU Pelayanan Publik


Pembahasan RUU Pelayanan Publik (Yanlik) memasuki babak baru pada tingkat Panja. Pada tanggal 19 Juni lalu, Panja Yanlik membahas pasal mengenai aspek pelayanan khusus sebagai salah satu aspek dalam pelayanan publik.

Muncul pertanyaan, apakah dalam implementasinya nanti tidak akan membuka ruang komersialisasi pelayanan publik? Apakah pelayanan khusus ini dapat memberikan jaminan pelayanan optimal pula bagi pelayanan yang tidak dikategorikan sebagai pelayanan khusus? Bukankah diferensiasi bentuk pelayanan ini adalah sebuah bentuk diskriminasi sosial masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut dapat secara otomotis timbul jika kemudian kita membaca klausul pelayanan khusus dalam RUU Yanlik usulan pemerintah. Dalam Pasal 28 DIM no. 181 RUU Pelayanan Publik menyatakan, “Penyelenggara dapat menyediakan pelayanan kelas-kelas tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelayanan”. Klausul ini tentu sebagai salah satu pintu akomodasi bentuk-bentuk pelayanan yang secara fakta lapangan memang dipraktekan di masyarakat luas. Namun, apakah bijaksana mengadakan pelayanan khusus pada pelayanan publik yang semangatnya menegasikan diskriminasi dan mendorong pelayanan yang adil dan berkualitas pada setiap golongan?

Dalam pembahasannya, fraksi Partai Golkar dan Demokrat secara tegas mengusulkan pasal ini harus dihapuskan karena diksi “kelas-kelas tertentu” tidak jelas maknanya dan bertentangan dengan prinsip yang ingin dikandung dalam UU Yanlik ini, yaitu kesamaan hak. Sedangkan fraksi Kebangkitan Bangsa cenderung mencoba mengeliminasi peluang pelayanan diskriminatif dengan mengadopsi pelayanan khusus yang dilaksanakan secara transaparan dan akuntabel. Sementara fraksi lain meskipun tidak mengusulkan pengubahan DIM, memahami kekhawatiran peluang diskriminasi dan komersialisasi pelayanan pada pelayanan khusus ini.

Proses dialektika pun berlanjut, antara mengakomodasi pelayanan khusus dengan menyamaratakan bentuk pelayanan tanpa memandang aspek golongan. Hingga dalam sebuah kesempatan pimpinan sidang Panja, Sayuti Asyathri dari F-PAN sempat berseloroh bahwa pembahasan ini menjadi bentuk pertentangan dua ideologi, ideologi pro-pasar serta ideologi ekonomi kerakyatan.

Patut diwaspadai bahwa diaturnya pelayanan khusus dalam RUU Yanlik adalah tidak untuk membuka peluang terjadinya komersialisasi pelayanan publik yang sedianya dapat diakses oleh setiap golongan dan kelompok masyarakat, yang berarti pula membuka peluang diskriminasi pelayanan pada masyarakat. Komersialisasi itu misalkan dalam bentuk kuota pelayanan khusus yang lebih besar dibandingkan pelayanan umum demi mengeruk keuntungan sebesar mungkin. Sedangkan diskriminasi pelayanan dapat terjadi pada bentuk pembedaan kualitas pelayanan antara pelayanan umum dengan pelayanan khusus.

Disinilah kemudian letak urgensi piagam warga dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pengawasan dan partisipasi aktif dalam menentukan bentuk, mekanisme, hingga biaya pelayanan yang sesuai dengan karakteristik mereka sendiri. Piagam warga dan SPM sebagai titik tolak penyusunan pelayanan publik menjadi filter utama dalam menghindari praktek komersialisasi dan diskriminasi pada pelayanan publik dengan pelayanan khususnya. Dengan piagam warga masyarakat mungkin saja mempersilahkan penyelenggara pelayanan publik untuk mengadakan pelayanan khusus, namun pada akhirnya akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai pengguna pelayanan dalam menentukan kuota, kualitas, bentuk, dan sebagainya dari pelayanan khusus ini.

Catatan-catatan yang disepakati anggota Panja Pelayanan Publik atas klausul pelayanan khusus juga harus diapresiasi. Seperti keinginan untuk menghindari nuansa diskriminasi dengan penggunaan diksi “kelas-kelas” dan menggantinya dengan istilah yang lebih halus seperti jenjang atau fasilitas adalah kemajuan atas pembahasan RUU yang telah dinanti masyarakat luas sejak lama. Kemudian substansi usul F-KB yang memasukkan pembatasan atas pelayanan khusus yaitu transparansi dan akuntabilitas dapat memperkuat pondasi batasan usul RUU dari pemerintah yang berupa peraturan perundang-undangan dan standar pelayanan.

Progress signifikan pembahasan pada tingkat Panja membuat asa akan terbentuknya UU Pelayanan Publik yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat awam, kelompok minoritas, dan masyarakat rentan senantiasa terpupuk. Tentu hal ini harus selalu diimbangi dengan proses pemantauan dan lobi yang intense dari segenap tim MP3.

Oleh Arif Rahmadi (relawan pemantau pembahasan RUU Pelayanan Publik)
http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=130&Itemid=70