Kamis, 10 Desember 2009

DESENTRALISASI DAN DEMOKRASI LOKAL

Demokrasi secara etimologi berasal dari gabungan dua kata bahasa yunani kuno, yakni Demos (Rakyat) dan Kratos (pemerintah) atau dalam bahasa ringkasnya ”Pemerintahan Oleh Rakyat”. Dan arti dari Desentralisasi (politik, administratif dan fiskal) adalah penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumberdaya, keuangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Desentralisasi atau Otonomi Daerah juga berarti membawa negara lebih dekat pada rakyat / masyarakat sipil (Axel Hadenius, 2003). Kedekatan ini bukan semata berarti karena ada kantor pemerintah (eksekutif) yang dekat dengan rakyat, bukan pula karena pemimpin lokal dipilih oleh rakyat setempat. dekat, di satu sisi, berarti pemerintah daerah mempunyai transparansi, akuntabilitas dan responsivitas dalam pengelolaan kebijakan dan anggaran daerah. Di sisi lain dekat juga berarti bahwa rakyat mempunyai akses politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan atau akses partisipasi.

Dengan kalimat lain, pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia mempunyai “tanggung jawab” mengurus barang-barang publik untuk dan kepada rakyat / masyarakat sipil. Secara teoretis tujuan antara desentralisasi (otonomi daerah) adalah menciptakan pemerintahan yang efektif-efisien, good governance, dan membangun demokrasi tingkat lokal. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah membuat rakyat “berotak cerdas”, “berbadan sehat” dan “berkantong tebal”. Ketiganya itu merupakan indikator utama kesejahteraan rakyat. Di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah telah berjalan sejak 1999, setelah daerah menunggu dan menuntut otonomi dan keadilan selama beberapa dekade.

Selama tujuh tahun terakhir daerah menikmati bulan madu otonomi daerah, yakni bergulat dengan keleluasaan daerah, keragaman lokal dan “pesta” demokrasi tingkat lokal. Daerah terus-menerus sibuk melakukan penataan kelembagaan secara internal, sekaligus bertempur dengan pusat yang mereka nilai tidak rela menjalankan otonomi daerah. Pada saat yang sama pemerintah daerah menghadapi harapan dan tuntutan masyarakat yang melambung cukup tinggi. Di tempat lain kalangan aktivis dan organisasi masyarakat sipil menyambut otonomi daerah dengan cara berbicara tentang demokrasi tingkat lokal, transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat dan pemberdayaan rakyat. Mereka terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap buruknya penyelenggaraan otonomi daerah.

Tetapi pada saat yang sama, publik bahkan orang awam terus bertanya (jika tidak bisa disebut kecewa) apa relevansi otonomi daerah dan demokrasi tingkat lokal bagi kesejahteraan rakyat. Desentralisasi dan Kesejahteraan Pertanyaannya, bagaimana desentralisasi membuat kesejahteraan.........? Bagaimana “tujuan antara” mencapai “tujuan akhir” desentralisasi, atau bagaimana “janji politik” menciptakan “janji kebijakan” untuk kesejahteraan? Serangkaian pertanyaan ini tentu mudah dijawab dengan skema teori. Dalam pandangan saya, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, membutuhkan lima kapasitas antara lain : Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya (tepatnya uang), misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Dana yang diperoleh dari ekstraksi ini dikelola dengan mekanisme planning dan budgeting system untuk digunakan membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik.

Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan & peraturan yang digunakan untuk ”mengatur” dan ”mengurus barang-barang publik dan warga. Regulasi juga dibutuhkan untuk memberikan perlindungan (proteksi) terhadap warga, termasuk kelompok-kelompok yang lemah, marginal dan miskin. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar peran-peran lain berjalan secara efektif dan profesional. Peran konsumsi tentu tidak bisa dihindari. Agar profesional dan efektif, birokrasi membutuhkan konsumsi biaya yang besar. Tetapi peran konsumsi bisa menimbulkan jebakan yang membuat birokrasi menjadi lembab. Kalau formasi birokrasi terlalu besar, sementara kapasitas mereka lemah, maka akan peran konsumsi akan terlalu besar dan tidak efisien. Atau membuat birokrasi lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan. Inilah yang disebut negara untuk negara (state qua state). Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GNP, GDP dan PDRB) dan membuka lapangan kerja bagi warga.

Peran investasi tidak melulu sebatas pengembangan BUMN untuk menguasai sektor-sektor ekonomi, tetapi pemerintah, sebagai representasi negara, dapat menggandeng swasta (sektor kedua) untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus memfasilitasi elemen-elemen masyarakat lokal dalam menggerakkan ekonomi rakyat untuk menciptakan pemerataan. Dengan APBD, pemerintah daerah dapat melakukan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan pengembangan ekonomi lokal. Pertumbuhan dan pemerataan itu merupakan dua skema untuk membangun kemakmuran. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga. Pelayanan publik yang paling dasar adalah pendidikan dan kesehatan, termasuk juga pengurangan kemiskinan. Demikianlah promosi kesejahteraan bila dilihat dari sisi peran dan kapasitas negara. Jika dilihat dari perspektif governance, desentralisasi menyajikan janji perbaikan pelayanan publik dan pengurangan kemiskinan. Desentralisasi memperbaiki governance dan penyelenggaraan pelayanan publik dengan meningkatkan:

(a) Efisiensi alokasi (allocative efficiency) melalui penyesuaian secara lebih baik pelayanan publik terhadap preferensi lokal dan (b) efisiensi produksi (productive efficiency) melalui peningkatan akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal kepada warga negara, birokrasi yang lebih ramping, dan pengetahuan yang lebih baik tentang local costs (Bank Dunia, 2001). Keduanya bisa dicapai antara lain melalui beberapa saluran. Pertama, mekanisme partisipasi warga (voice, akses dan kontrol) warga terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan anggaran. Kedua, rencana pengelolaan sektor publik dan anggaran daerah yang meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas, misalnya kebijakan kepegawaian yang berbasis-manfaat, program-program aksi yang konkret, serta peraturan maupun perencanaan yang meningkatkan akuntabilitas dan membatasi korupsi. Pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif, sekaligus partisipasi rakyat, merupakan dua kata kunci desentralisasi yang memungkinkan terjadinya proses pengurangan kemiskinan, termasuk agenda promosi kesejahteraan rakyat.

Namun selalu muncul pertanyaan apakah partisipasi lokal dalam sistem pelayanan dan barang publik tata pemerintahan akan benar-benar mempunyai sebuah pengaruh positif pada kaum miskin? Partisipasi, agar bisa berjalan, memerlukan pertama, pendidikan minimum, kemampuan dasar, akses informasi dan persamaan berdasarkan jender. Kedua, pemberdayaan rakyat pada tingkat lokal. Seringkali, prasyarat ini tidak diberikan. Elite lokal sering mempunyai akses langsung terhadap dan pengaruh atas para pejabat lokal, dan menolak sharing kekuasaan dalam kebijakan partisipasi dan desentralisasi (Narayan et al., 2000). Jika masyarakat dan negara tidak dapat mempengaruhi atau mengendalikan tindakan dan kekuasaan kepemimpinan lokal, maka ini seringkali mengarah pada investasi yang menguntungkan kepentingan elite dan investasi yang rendah dalam pelayanan dan barang publik bagi rakyat miskin.

Ada juga fakta bahwa pada banyak setting, manfaat kebijakan sosial justru diserobot oleh elite lokal (local captured) (Bardhan, 1999, Galasso dan Ravallion, 2000). Karena itu Mahal et al. (2000) menekankan bahwa desentralisasi dan demokratisasi yang meningkat pada tingkat lokal akan mempengaruhi secara positif terhadap pengurangan kemiskinan jika keadaan sosial ekonomi, organisasi masyarakat sipil, kapasitas birokrasi dan local capture oleh kelompok elite dapat dikendalikan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat itulah yang menjadi cita-cita besar membawa negara lebih dekat pada rakyat

Penulis:Rachmat Hidayat,ST
http://www.kotaprabumulih.go.id/?act=artikel_detil&id=60