Selasa, 31 Desember 2013

SITUASI DAERAH KOTA MALANG

Pemerintah Kota Malang dan Pemodal (Kaum Kapitalis) Dalang Pemiskinan dan Krisis Kesejahteraan Rakyat

Pemerintah adalah sebuah sarana bagi rakyat untuk memperjuangkan hak-hak mereka demi menuju sebuah kesejahteraan yang lebih baik antar periode, mungkin itulah sebuah idealisme yang terbangun setiap kali muncul momentum pergantian pemerintahan yang lama dengan yang baru. Akan tetapi, dalam kenyataan yang ada justru sebaliknya. Di kota Malang kita ini, pemerintah kota sama sekali taidak mampu menjadi wadah aspirator rakyat atas keluh-kesah mereka selam berada dalam genggaman kekuasaan pemerintahan yang saat ini berkuasa. Data-data terbaru menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan yang selalu diidam-idamkan rakyat malang saat ini, malahan keterpurukan ekonomi dan krisis kesejahteraan di berbagai macam sektor telah merambah kesebagian besar penduduk.
Data Kesejahteraan Di Kota Malang

Kriteria Data Jumlah (Quantity)
Pengangguran 10.000 Jiwa
Rakyat Miskin Penerima BLT 30.000 Jiwa
Penerima Raskin Meningkat Tajam dari 1,9 juta (2006) – 2,6 juta keluarga (2007)
Penduduk Buta Huruf 2.000 – 5.000 Jiwa
Perusahaan Kolaps (Bangkrut) 500 dari 800 Perusahaan yang sudah berdiri

Data pada tabel di atas sudah cukup jelas memberikan gambaran bagaimana sengsaranya rakyat saat ini. Ketika hampir semua harga kebutuhan bahan pokok naik, mulai dari kenaikan harga BBM-2003 lalu (disusul dengan kenaikan harga bahan pokok lainnya dan berbagai macam biaya dari banyak sektor).
Dengan kondisi segala sesuatu yang serba mahal tentkunya rakyat membutuhkan tambahan pendapatan yang lebih tinggi agar mampu bertahan untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Namun dengan kolapsnya sekitar 500 perusahaan yang ada, maka rakyat semakin sulit untuk mengakses kesejahteraan. Tidak ada lapangan pekerjaan maka tidak ada upah, dan tentu saja mereka semakin miskin.
Sedangkan bagi mereka yang sudah bekerja di pabrik-pabrik harus menghadapi politik upah murah yang dijalankan pemkot Malang, UMK tahun 2007 hanya sekitar Rp 745.109,-. Semakin miskinnya rakyat dapat kita lihat dari data penerima raskin Jatim yang meningkat tajam; pada tahun 2006 sebanyak 1,9 juta keluarga, sedangkan pada tahun 2007 diperkirakan meningkat hingga 2,6 juta keluarga.
Tidak berhanti sampai di situ, saat ini warga kota Malng juga sedang menghadapi situasi yang pelik dalam pangan. Kenaikan harga beras baru-baru ini yang mencapai sekitar Rp 6.000,- dari Rp 4.500,- (untuk beras dengan kualitas II IR 64) juga masih belum ada solusi yang efektif dan sesegera mungkin dari pemkot Malang. Operasi pasar (OPM) yang coba dijadikan sebuah alternatif untuk menormalkan kembali harga beras di pasar, ternyata juga masih belum mampu menurunkan harga beras secara signifikan. OPM sebesar 40.000 ton beras yang dilancarkan sekitar 21 hari sejak 19 Februari 2007 (oleh Bulog Subdiversi Malang, Disperindag, dan Bagian Perekonomian Pemkot Malang) yang lalu ternyata hanya mampu menurunkan harga sampai titik terendah Rp 5.400,- , padahal kemampuan masyarakat masih jauh dari angka tersebut.
Evaluasi mendasar atas kerja pemerintah kota malang dalam hal ini adalah tidak adanya keseriusan dan terkesan ceroboh dalam penanganan masalah beras mahal ini. Diantaranya adalah :

1. Tidak adanya pengawasan terhadap distributor yang ditunjuk langsung oleh tim OPM (pasar tradisional & kelurahan-kelurahan) dalam pendistribusian beras dari pemkot ke masyarakat. Sehingga berpotensi memunculkan kecurangan permainan harga > Rp 3.700,- (harga beras hasil OPM yang menjadi standard legal pembelian bagi masyarakat).
2. Lemahnya analisa kebutuhan yang dilakukan oleh pemkot malang, dalam penyediaan stok beras untuk operasi pasar. Hal ini akan memicu kenaikan harga beras pada angka yang lebih tinggi lagi setelah tahap operasi pasar pertama belum mampu menurunkan harga secara signifikan seperti yang terjadi sekarang, ketika pemkot malang terlambat kuntuk melakukan operasi pasar. (dalam hal ini pemkot malang berencana melakukan OPM tahap II sekitar 6.000 ton beras, waktu belum jelas kapan karena stok beras telah habis baik di pemkot maupun bulog dan pemerintahan propinsi).
Dengan kondisi hasil panen yang semakin menurun, maka ketika pemerintah tidak mampu memenuhi nilai kebutuhan pasokan beras untuk operasi pasar (OPM Gagal) harga beras akan naik lagi dan OPM yang sebelumnya akan sia-sia karena ketidakcakapan pemerintah dalam manjalankan tugasnya.


Tidak dapat dielakkan lagi, pemerintah memang tidak pernah punya keinginan untuk mensejahterakan rakyatnya. Mereka lebih memilih mensejahterakan diri mereka dan para kapitalis busuk yang selama ini memuja paham neoliberalisme dan bertanggungjawab penuh atas pemiskinan dan krisis kesejahteraan yang ada. Bagaimana tidak, di tengah-tengah kondisi rakyat yang semakin terhimpit dalam dalam pusaran krisis tidak ada inisiatif sedikitpun dari penguasa untuk memberikan subsidi bagi kesejahteraan rakyat. Malah sebaliknya, yang mereka lakukan adalah terus mengakumulasi modal untuk keuntungan subyektif dan segelintir orang saja dengan terus membangun proyek-proyek mercusuar (dan proyek-proyek lain) tanpa memperhatikan hukum dan dampak yang ada (dampak lingkungan hidup, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dampak banjir, efek budaya, dsb).

1. Taman Indrokilo yang sekarang berubah menjadi museum Brawijaya.
2. Penilapan lapangan tenis di Jl. Surabaya menjadi kantor kecamatan.
3. Malang Town Square (MATOS).
4. Kasus Taman Kunir yang dibabat habis dan dibangun kantor kelurahan.
5. Alun-Alun Junction (meski telah gagal).
6. “Renovasi” Stadion Gajayana hingga menjadi MOG (Malang Olympic Garden).
a. Potensi terjadinya TINDAK KORUPSI MOG. Sampai saat ini tidak ada informasi terbuka tentang transparasi keuangan kepada rakyat Malang. Berapa rupiah nominal yang diterima pemkot Malang atas pembangunan MOG? Jika pemkot hanya menerima 10% maka pertanyaanya adalah apakah 10% itu diambil dari nilai investasi yang sebesar 259 M saja, atau kombinasi antara nilai tanah stadion luar Gajayana + nilai investasi Rp.259 M? Pertanyaan yang lain adalah berapa persen rupiah yang diterima Pemkot Malang selama 30 tahun pengelolaan MOG oleh pihak swata? (pihak pengelola dari PT Mustika Taman Olimpic menyatakan bahwa pembangunan MOG menggunakan sistem built of transfer, yang artinya setelah 30 tahun dikelola swasta, semua aset di MOG menjadi milik Pemkot). Perlu diketahui bahwa tanah stadion luar Gajayana yang saat digunakan untuk pembangunan MOG adalah milik Rakyat Malang ( Perda No. 19/2004 dan perubahannya Perda No. 13/2004 tentang pengelolaan dan retribusi pemakaian tempat-tempat olahraga), yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat Malang. Maka dari itu warga Malang juga berhak untuk memperoleh informasi dana pembangunan MOG dan berhak untuk melakukan protes jika dugaan adanya KORUPSI DANA MOG terbukti.
b. Dampak lingkungan. Seperti yang sudah terjadi bahwa di kawasan sekitar Stadion Gajayana mulai mengalami banjir. Warga sekitar juga mulai resah karena dalam waktu yang cukup lama tidak pernah ada banjir tapi sejak dibangunnya MOG masyarakat resah atas dampak lingkungan yang terjadi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa setiap pembangunan harus dilengkapi dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dipublikasikan terbuka kepada publik.
c. Penggusuran PKL. Nasib PKL di Jalan Veteran (MATOS) dapat pula menimpa PKL-PKL disekitar stadion Gajayana. Kita harus mewaspadai pelajaran ini semua. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah persatuan antara warga sekitar Stadion Gajayana, pihak PKL, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya mutlak untuk dilaksanakan.
d. Pelanggaran terhadap hukum yang telah ada. UU No.3/ 2005 (tentang keolahragaan), Perda RT-RW (Ruang terbuka hijau), PP No. 6/ 2006 tentang pengadaan tender (tanpa melalui pengadaan tender secara terbuka).
7. Alih fungsi Lapangan Rampal menjadi pusat olah raga (disinyalir ada potensi pembangunan Mall).
(dalam proyek ini pemkot bekerjasama dengan TNI-AD dan pemkot sendiri menyumbang dana sebesar 1M diambil dari APBD 2007)
Kasus-kasus pembangunan di atas banyak melahirkan penggusuran PKL, banjir, korupsi, dan hal-hal lain yang tidak menguntungkan rakyat.

Di sisi lain ketika pemkot terus menghimpit rakyat dengan kebijaknnya, anggota DPRD juga tak jauh beda apa yang belakangan ini dilakukan. Melalui PP 37 th 2005 mereka melancarkan politik anggaran yang sungguh-sungguh tidak manusiawi dan menyakitkan semangat kemanusiaan. Atas nama peraturan dan undang-undang, DPRD Kota Malang menerima rapelan dari anggaran tahun 2006, bayangkan jumlah rapelan yang fantastik ini; masing-masing anggota dewan menerima Rp 70 juta, sedangkan masing-masing pimpinan dewan (Ketua dan 2 wakil ketua) memperoleh uang sebasar Rp 200 juta.
Kondisi seperti ini juga semakin diperparah, karena tidak ada satupun partai politik yang ada di dalam gedung parlemen berteriak untuk menolak dana rapelan. Dalam proyeksi anggaran tahun 2007, kita juga dapat melihat minimnya anggaran untuk rakyat miskin, ambil contoh; anggaran untuk pengadaan buku dan alat tulis siswa hanya sebasar Rp 500 juta, program perbaikan gizi masyarakat Rp 1,2 Miliar, peningkatan sarana sanitasi dasar hanya Rp 108 juta. Ada pula pos anggaran yang tidak masuk akal, seperti pada pos PENDIDIKAN dalam item penyediaan jasa surat menyurat tertulis angka Rp 2.934.600.000. hampir 3 Miliar rupiah, padahal hanya untuk mengurus surat menyurat.
Sedangkan, ketika kaum buruh yang masih berhadapan dengan naiknya harga beras hingga Rp 4.700/Kg dan UMK yang hanya Rp 745.109 justru anggota dewan mendapatkan berkah kelimpahan upah. Pada tahun 2007, masing-masing anggota dewan akan mendapatkan upah sekitar Rp 120 juta/tahun atau sekitar Rp 10 juta/bulan, sedangkan pimpinan dewan mendapat upah sekitar Rp 204 juta/tahun atau Rp 17 juta/bulan.


Situasi Gerakan Mahasiswa dan Rakyat
Secara umum saat ini dapat dikatakan bahwa popularitas rejim penguasa kota malang Peni Suparto dan gerbong-gerbong di sekitarnya telah menurun, seiring dengan berbagai macam kebijkannya yang menimbulkan banyak kontraproduktif dan perlawanan dari kalangan gerakan mahasiswa, buruh, dan sektor rakyat lainnya (meski akhir-akhir ini kuantitas aksi nya menurun). Meski telah terbangun berbagai macam bentuk perlawanan rakyat, hal ini belum cukup mampu menahan laju gempuran kapitalisme.
Kondisi kaum gerakan yang masih terfragmentasi dan disibukkan dengan kemunduran-kemunduran organisasinya akibat penetrasi imperalisme menyebabkan semakin lemahnya gerakan untuk melawan penguasa saat ini. Potensi perlawanan rakyat yang telah ada (kasus buruh Adi Putro, demo puluhan guru yang menuntut kenaikan gaji, keresahan warga akibat kenaikan harga beras, potensi penggusuran PKL di daerah Truno Joyo sebagai timbal obsesi Pemkot sebagai kota Adipura, dll) tak di iringi dengan kesadaran pembangunan front di kaum gerakan dan perluasan pengorganisiran, sahingga perlawanan-perlawanan tersebut tidak dapat menjadi panggung (mimbar/ajang) untuk memperluas kesadaran maju massa maupun memunculkan tokoh-tokoh dari kaum gerakan sendiri.
Terhitung sejak terbangunnya front gerakan dari kasus MATOS, GEBRAK BBM (2003), AL-MAKAM (akhir 2003), ANPERA (pertengahan 2006), For-AKSI, hingga PERISAI (November 2006 terakhir terbentuknya front perlawanan hingga 2007) secara kuantitas dan kualitas terus mengalami penurunan. Gerakan saat ini disamping tidak memiliki perspektif politik yang jelas, mereka juga masih cenderung menunggu momentum (terutama moment-moment yang berskala nasional), ini terbukti dengan adanya beberapa kasus-kasus kerakyatan yang tidak mendapat advokasi dari kawan-kawan gerakan sebagai sebuah potensi untuk perluasan struktur. Begitu juga dari front-front atau persatuan-persatuan dari gerakan mahasiswa intra seperti halnya BMR (Bem Malang Raya), yang hingga saat ini tidak memiliki kejelasan dalam perjuangan dan program-programnya untuk pembebasan rakyat.
Penerimaan kaum gerakan terhadap program Tripanji sendiri masih sangat lemah. Secara programatik memang tidak ada penolakkan, akan tetapi dalam tindakan-tindakan politiknya (baik aksi ataupun bentuk-bentuk propaganda lainnya) masih berdasarkan kasus-kasus sektoral atau teritorial, dan tidak ada arah politik terhadap program Tripanji. Begitu juga penerimaan di media-media borjuis, media massa borjuis masih belum dapat menilai keuntungan bagi kepentingan (modal dan politik) mereka, sehingga pemberitaan terhadap program Tripanji masih sangat minim. Bahkan beberapa media, seringkali memberitakan aksi-aksi radikal sebagai black propaganda untuk menyudutkan gerakan rakyat sendiri. Berikut perkembangan gerakan rakyat saat ini:
• Hancurnya industri nasional dan diberlakukannya sistem buruh kontrak menjadikan serikat-serikat buruh kehilangan massanya. Serikat-serikat buruh di sibukkan dengan kerja-kerja advokasi anggotanya yang terus menerus di ancam PHK dan kemerosotan tarap hidupnya. Hanya pada momentum-momentum politik tertentu saja (terutama dalam merespon kasusnya), kaum buruh dapat termobilisasi (seperti kasus buruh Adi Putro).
• Gerakan mahasiswa sendiri yang selama ini menjadi sektor termaju, dalam penerimaan kesadaran politik terpukul mundur jauh kebelakang. Gerakan mahasiswa terjebak dengan kepentingan-kepentingan subyektif dan belum mampu keluar dari politik para seniornya (politik ke’i), ditambah dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang meminimalisir mahasiswa bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan (ekstra maupun intra), sehingga menyulitkan organ-organ mahasiswa melakukan pembasisan. Kemunduran gerakan mahasiswa ini dapat dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa yang sebenarnya telah lama terbangun tapi kini hanya tinggal plank nama saja.
• Kaum miskin kota yang seharusnya menjadi salah satu sektor potensial untuk pengorganisiran dan perlawanan atas ketertindasan mereka saat ini, belum mampu dijadikan sebagi ladang perluasan struktur gerakan. Ini dapat dilihat dengan begitu banyaknya KMK yang ada, akan tetapi tidak ada satupun organisasi KMK yang mampu memberikan wadah bagi mereka untuk berjuang. Akhirnya yang terjadi adalah gerakan sektarian dan saling menunggu.
• Sedangkan gerakan kebudayaan masih berkutat dalam persoalannya sendiri (berkarya baik dalam bentuk individual ataupun komunitas) yang memiliki kecenderungan ekslusif, walaupun begitu, banyak karya-karyanya yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat (seperti halnya komunitas teater yang ada di sektor mahasiswa).
• Begitu juga dengan gerakan perempuan yang masih berkutat dengan persoalan-persoalan gender dan KDRT. Para aktifis perempuan masih belum mau melepaskan dirinya dari baju ke-LSM-annya dalam membangun gerakan perempuan, hal ini mengakibatkan sangat minim terbangunnya organisasi-organisasi perempuan.



Malang, Maret 2007